MEMAHAMI DAN MEMBUMIKAN
WAWASAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDU
Oleh: I Made Suparta (FIB UI)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Multikultural merupakan suatu cara pandang dan wawasan berpikir (paradigma) yang relatif “baru” dalam wacana ilmu pengetahuan sosial dan budaya (humaniora), terutama pasca pemikiran liberalisme dalam bidang ilmu politik. Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan derasanya perubahan sosial-budaya yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan. Fay[1] mengemukakan, bahwa multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme seharusnya tidak dipahami semata-mata sebagai sekumpulan perbedaan belaka yang dapat dijumlahkan dan disatu-satukan secara kuantitatif, tetapi sebaliknya multikulturalisme adalah sebuah kualitas (dan bukan entitas), yang secara mutlak mensyaratkan adanya, empati, solidaritas dan keadilan sosial.[2] Oleh karena itu, multikulturalisme pada dasarnya bukan sekadar wacana tetapi ideologi yang harus diperjuangkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatanya. Akan tetapi, sebagai sebuah ideologi multikulturalisme tidak dapat berdiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya; sebaliknya, multikulturalisme justru membutuhkan seperangkat bangunan konsep-konsep untuk memahaminya.
Menurut Fay berbagai konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme, antara lain: demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa dan kesukubangsaan, kebudayaan etnik, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. Berkaitan dengan konsep-konsep tersebut—paling tidak—ada tiga faktor yang mendorong berkembang-luasnya wacana pemikiran multikulturalisme, yaitu: (a) HAM (Universal Declaration of Human Rights yang diprakarsai oleh PBB pada tahun 1948), (b) globalisme, dan (c) proses demokratisasi.[3]
Menurut pandangan David W. Johnson dan Roger T. Johnson, pemahaman multikulturalisme pada tataran pertama-tama adalah pemahaman budaya.[4] Hal ini dapat disimak pada kutipan berikut,
“To unserdstand multiculturalism, it is first necessary to understand culture. There are hundreds of definitions of the term culture, but generally culture is a shared way of life for a group of socially interacting people. Culture is transmitted from generation to generation by the processes of enculturation and socialization and continues to exist as long as members are committted to continuing. (...) Every person has mutiple cultural identities—nationality, ethnicity, religion, gender, and so forth. Every person is thus multicultural. These identities are dynamic, always change, adapting to changes in invironmental circumstances and group asscociations.”
Pada kenyataannya kehidupan semua umat manusia adalah multikultural, akan tetapi tidak berarti bahwa semua kebudayan merupakan perncampuran belaka. Lebih jauh David W. Johnson dan Roger T. Johnson[5] mengemukakan, “Multicultural individuals are people have internalized several cultures, which the coexist inside them. Many multicultural individuals report that the internalized cultures take turns in guiding their thoughts and feelings.”
Pandangan di atas relatif selaras dengan kehidupan sosio-kultural dan keagaman masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk (plural society),[6] yang secara historis un sich dalam perkembangan masyarakat tersebut sejak berabad silam. Budaya masyarakat Indonesia yang terwarisi hingga kini merupakan ‘persemaian’ (seedlings) berbagai sistem nilai budaya, baik yang bersumber dari nilai-nilai budaya etnik maupun nilai budaya asing yang di-immport dari ‘luar’. Meskipun demikian, secara ontologis budaya masyarakat Indonesia tetap mempunyai ciri-ciri yang otentik (ciri yang bersifat indegenius) yang dapat dikenali dan diartikulasikan di tengah pembauran lintas budaya dalam kehidupan masyarakat pluralis-multikultural tersebut.
Berkenaan dengan pandangan dan pemikiran di atas, upaya pemahaman (verstehen) dan pembumian wawasan multikultural dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat penting, baik secara internal (inkulturasi) maupun eksternal (enkulturasi). Karena pemahaman wawasan dan kesadaran multikultural pada prinsipnya merupakan salah satu konsep dasar yang dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan kehidupan sosio-religius yang rukun dan damai, tan adanya kekerasan, teristimewa dengan realita masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnik, multilingual, dan multireligius .
Kajian ini berusaha untuk mengungkapkan dan memahami konsep-konsep dan pemikiran Hindu (Veda) yang terkait dengan cara pandang dan ‘paradigma’ multikulturalis, dan mencoba mengemukakan beberapa pokok pikiran dalam upaya membumikannya secara internal dan eksternal. Konsep dasar dan ‘paradigma’ pluralis-multikultural terkandung dalam kitab suci Veda, antara lain dapat disimak pada ungkapan: Tat Tvam Asi, Ahimsa Dharma, Samadarsitva, dan Sarva Dharma Smabhava, yang secara filosofis didasari oleh ‘cara pandang’ Atma-darsanah dan Sama-darsanah.[7] Oleh karena itu, pemahaman dan pembumian wawasan multikultural bukan sekadar untuk mewujudkan kehidupan yang rukun, damai, dan sejahtera secara duniawiah (Jagaddhita), bahkan yang paling penting adalah untuk mengkondisikan (conditioning) dan atau me-rekondisikan (reconditioning) kedamaian (Śantih, ‘kedamaian, harmoni’) dan kebahagiaan abadi (Moksa).
Dari segi teologis-filosofis konsep dasar dan ‘paradigma’ pluralis-multikultural Hindu (Veda) berupaya membentuk pribadi manusia yang utuh, yakni sebagai insan beragama ber-Ketuhan-an sekaligus juga beradab (civilized) dan berkemanusiaan (humanized). Oleh karena itu, pemahaman wawasan multikultural merupakan conditio sine qua non bagi seluruh umat manusia (teristimewa sebagai insan beragama) dalam mewujudkan kerukunan (Krêta), kedamaian (Śanti) dan kebahagiaan duniawi (Jagaddhita ), dan kebahagiaan abadi di akhirat (Moksa).
Kajian pemahaman dan pembumian wawasan multikultural pada dasarnya relatif kontekstual dikaitkan dengan segi budaya politik-hukum, gerakan demokrasi dan HAM di satu pihak, dan realitas kehidpan keagamaan masyarakat Indonesia di pihak lain. Dalam dasa warsa terakhir ini, terutama ketika kita memasuki millenium ketiga ini, dibalik kemajuan gerakan demokrasi dan reformasi ternyata kehidupan umat beragama di seluruh dunia dikejutkan oleh gerakan terorisme internasional yang telah mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan, yakni peristiwa bom (bunuh diri) WTC pada tanggal 11 September 2001 dan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Secara semiotis kedua peristiwa tersebut menjadi sebuah ‘ironi’, merupakan “tanda” bahwa dalam gerak maju peradaban dunia konflik-konflik, baik konflik yang bersifat ideologis (agama, ras, etnis) ataupun bersifat politis (kekuasaan) merupakan realita yang tidak terhindarkan. Sekretaris Jendral PBB, Boutros Boutros Ghali dalam tulisannya yang berjudul “Supplement to an Agenda for Peace” (3 Januari 1995), menyatakan, bahwa dengan berakhirnya “Perang Dingin” maka tumbuh konflik baru yang memiliki ciri-ciri yang berlainan dengan apa yang dikenal selama “Perang Dingin” waktu lalu. Sebagian besar dari konflik itu berlangsung dalam satu negara (inter-state); dan sebagain dari konflik-konflik itu didasarkan atas konflik keagamaan dan etnis.[8]
Menguatnya fenomena militansi, otentisitas, ekslusivitas keagamaan terutama sejak dasa warsa 1990-an hingga awal millenium ketiga ini, sebagaimana dirasakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ternyata kontra-produktif dengan upaya-upaya kondusif untuk menumbuhkan kehidupan yang demokratis, rukun dan damai serta humanis-religius, sehingga muncul krtitik sosial bahwa kehidupan pluralis-multikultural masih dalam tataran wacana belaka. Sebab dalam kehidupan nyata umat beragama (dasein) berbagai konflik, kerusuhan dan kekerasan bernuasa etno-religius sangat memperihatinkan, seperti peristiwa Poso, Ambon , dan daerah-daerah konflik lainnya.
Berbagai fenomena kerusuhan etno-religius telah menimbulkan munculnya kritik yang tajam terhadap agama sebagai sistem kepercayaan dan sikap/pola perilaku, karena agama dianggap telah gagal dalam melakukan peran sosialnya. Para ahli sosiologi menyimpulkan bahwa secara sosial agama tampil ke permukaan dengan wajah ganda (bersifat ambivalen). Di satu sisi, agama merupakan kekuatan konstruktif untuk menumbuhkan keteraturan sosial (harmony) dan perdamaian atau peran integrasi sosial; akan tetapi di sisi lain, agama juga tampil sebagai kekuatan destruktif yang memicu terjadi perang dan revolusi.
Dalam kaitan ini, Pierre L. Van den Berghe[9] mengemukakan bahwa masyarakat majemuk mempunyai beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar, yaitu: (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di anatara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain
Dari keenam ciri-ciri dasar dari Berghe, rupanya ciri pada butir (4), (5), dan (6) secara mencolok “mewarnai” dinamika sosio-religius kemajemukan masyarakat Indonesia. Di satu pihak pluralitas agama-etnik-budaya tersebut merupakan anugrah dan aset yang tak ternilai, tetapi di pihak lain, juga dapat menjadi sumber konflik dan “bencana” kemanusiaan apabila tidak diciptakan suatu sistem dan pendekatan yang tepat atau elegan. Oleh karenu itu, kajian pemahaman dan pembumian wawasan multikultural dalam masyarakat Indonesia dilihat dari perspektif Hindu sangat menarik dilakukan dalam usaha menggali dan mengungkapkan konsep-konsep Hindutva yang relevan dalam upaya menumbuhkan saling pengertian secara cross-religions (cultural), serta memperluas wawasan pemikiran keagamaan pluralis-multikultural.
1.2 Pokok Permasalahan
Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian awal ini adalah ungkapan ajaran dan konsep-konsep tentang multikultural yang terkandung dalam kitab suci Veda dan segala cabang-cabangnya. Kajian terhadap masalah tersebut secara spesifik dapat disimak dalam rumusan permasalahan berikut ini:
a. Bagaimana bentuk ungkapan konsep multikultural yang terkandung dalam kitab suci Veda dan bagaimana cara pemahaman (verstehen) terhadap konsep tersebut;
b. Bagaimana pola pembumian (inculturation dan enculturation) konsepsi dasar tersebut, baik dalam sistem sosio-religius masyarakat Hindu sebagai bagian dari proses integrasi sosial;
c. Apa kontribusi dan relevansi konsep-konsep pluralis-multikultural yang terkandung dalam kitab suci Veda dalam konteks kehidupan antar-umat beragama, berbangsa dan bernegara.
1.3 Tujuan Penelitian[10]
Tujuan kajian terhadap pokok permasalahan di atas sebagaimana dinyatakan dalam ketiga rumusan masalah tersebut adalah:
a. Mengungkapkan konsep-konsep dasar pluralis-multikultural yang terdapat dalam kitab suci Veda sebagai susatu sistem nilai religius yang dipedomani oleh masyarakat Hindu hingga kini;
b. Mendapatkan gambaran tentang model atau pola internalisasi/enkulturalisasi konsepsi dasar yang terdapat dalam Veda berdasarkan pengalaman emperis dalam sistem sosial masyarakat Hindu, khususnya di Bali yang merupakan bagian dari proses integrasi sosial; dan,
c. Memperoleh suatu rumusan yang bersifat konsepsional sebagai suatu kontribusi langsung tentang upaya mendapatkan pemahaman multikultal dalam kehidupan masyarakat majemuk berdasarkan kitab-kitab Veda yang dipandang relevan dalam konteks kehidupan masyarakat pluralis-multikultural.
1.4 Konsep dan Landasan Teoritis
1.4.1 Konsep
Dari pemerian di atas dapat disimak suatu gambaran bahwa kajian terhadap masalah konsep dan wawasan multikultural dalam kehidupan umat beragama tidak dapat dilepaskan dengan tiga wujud kebudayaan manusia secara universal, yaitu berupa: (a) sistem ide/gagasan ajaran keagamaan, (b) sistem perilaku sosial keagamaan, dan (c) berupa artefak atau budaya materi (tangible).[11] Ajaran-ajaran keagamaan yang tersurat (tangible) dan tersirat (intangible) dalam teks-teks kitab suci, pada tataran supra-emperis merupakan sabda suci atau wahyu Tuhan. Akan tetapi, pada tataran emperis pembumian (internalisation dan enculturation) ajaran-ajaran suci tersebut dilakukan melalui media kebudayaan, seperti ditulis dalam sistem huruf tertentu sehingga konsep-konsep, ide/gagasan, ajaran-ajaran suci tersebut memperoleh wujudnya berupa artefak, yakni: kitab-kitab suci keagamaan yang dikenal hingga kini.
Terkait dengan pemahaman tersebut, dalam kajian ini perlu kiranya terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep sebagai bagian tak terpisahkan dari permasalahan di atas. Konsep dalam pandangan Anthony F.C. Wallace[12] diartikan dengan “mazeway” (‘jalinan cara’), dan mendefinisikan konsep sebagai,
“...the entire set of cognitive maps of positive and negative goals, of self, others, and material objects, and their dynamic interrelations in process, wich individual maintains at a given time.”
(Konsep adalah keseluruhan kerangka berpikir yang terpetakan atas tujuan positif dan negatif, diri sendiri, yang lainnya, dan objek material dan dalam proses interrelasi dinamis, di mana individu mempertahankan pada suatu waktu yang diberikan).
Menurut Koentjaraningrat, konsep adalah gambaran umum yang abstrak dalam pikiran, mengenai asas suatu hal, masalah, kejadian atau sekumpulan benda; atau seperti yang dikatakan Vredenbregt, bahwa konsep adalah suatu istilah yang secara generalisasi mempersoalkan observasi yang kongkret. [13] Adapun konsep-konsep terkait yang digunakan dalam kajian dan analisis masalah di atas, antara lain:
a. Konsep Agama, Religi, dan Kepercayaan
Penggunaan istilah agama dan religi secara awam sering mrngalami kerancuan, padahal antara kedua istilah tersebut mengandung pendekatan yang berbeda. Menurut Koentjaraningrat, religi merupakan bagian dari kebudayaan karena memiliki makna lebih netral; dan ia menghindari menggunakan istilah “agama”, meskipun ada pandangan yang mengatakan bahwa sistem religi tertentu merupakan agama hanya bagi penganutnya. Misalnya, sistem religi Islam merupakan agama bagi umat Islam, atau sistem religi Hindu Dharma adalah suatu agama bagi umat Hindu.[14]
Di samping itu ada juga pandangan yang mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara, misalnya di Indonesia diakui lima agama secara resmi, yaitu: Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan. Jadi istilah agama penggunaannya bersifat formalistik dan politis (sesuai dengan pandangan dan aturan negara terhadap hal ini). Oleh karena itu, Koentjaraningrat condong menggunakan istilah “agama” dalam konteks yang kedua ini, sebab religi adalah bagian dari kebuayaan sesuai dengan konsep yang dikemukakan E. Durkheim dalam bukunya yang berjudul, “Les Formes Élémentaires de la Vie Réligieuse” (1912).[15] Tiap religi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen, yaitu: (1) Emosi keagamaan, (2) Sistem keyakinan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta segala nilai, norma, dan ajaran religi bersangkutan, (3) Sistem ritus dan upacara sebagai cara berhubungan dengan Tuhan, dan (4) Umat atau kesatuan sosial-keagamaan yang melaksanakan butir (2) dan (3) di atas.
Akan tetapi, berbeda halnya dengan kepercayaan yang sering digunakan bersandingan dengan istilah agama. Menurut Koentjaraningrat, istilah kepercayaan digunakan untuk menyebut semua sistem (keyakinan kepada Tuhan) yang berada di luar kategori agama yang secara resmi diakui oleh negara kita. Terkait dengan konsep religi di atas, maka kepercayaan mempunyai arti yang khas, yakni komponen (2) dalam konsep Durkheim, yang terdapat dalam tiap agama maupun religi.[16]
b. Konsep Pluralisme Kultural, Suku-Bangsa (Etnik) dan Ras
Keberagaman (diversity, diversitiveness) yang membentuk entitas plural pada dasarnya merupakan valensi positif yang diderivasikan dari analogi pernyataan biologis (biologist’ argument), dan kemudian menjadi wacana yang sangat penting untuk pemertahanan “gene pool” terbesar dari suatu masyarakat, yakni: (a) future-oriented, dan (2) argues a social benefit.[17] Karena sejak dilahirkan manusia an sich telah mempunyai ciri-ciri dasar yang berbeda. Dalam pandangan Hindu, perbedaan dasariah an sich yang dibawa dan built in sejak lahir tersebut merupakan konsekuensi logis konsepsi teologis-filosofis yang disebut karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi).
Kemajemukan atau keberagaman sosial dan kultural merupakan suatu kenyataan atau realitas, bahwa setiap manusia menghormati hak-hak untuk berbeda dengan yang lain (the right of culture diversity). Kesanggupan setiap individu untuk merepresentasikan the right of culturediversity ini, secara kultural di satu sisi pada dasarnya adalah ungkupan kesadaran plural (entitas plural), dan secara politis di pihak lain merupakan ungkapan hak azasi manusia. Selain itu, ungkapan tersebut juga merupakan bagian dari raison d’être[18] (alasan hidup) untuk mempertahankan diri sendiri sebagai masyarakat yang berbeda.
Dalam kehidupan masyarakat kita, sebagai sebuah nation-state secara politis dan konseptual Pancasila dengan motto: “Bhinneka Tunggal Ika” menjamin kebebasan setiap warganya untuk menyatakan the right of culture diversity termasuk dalam memeluk agama dan atau kepercayaan tertentu. Dalam kosepsi kesadaran plural ini yang ada ialah suatu keharusan dari setiap komunitas untuk menghormati hak-hak atas keanekaan budaya dan hak-hak untuk hidup berbeda sesuai dengan budayanya sendiri. Dengan demikian, multikulturalisme merupakan suatu pengakuan atas hak hidup dari budaya-budaya lokal dan oleh sebab itu wajib dihormati, karena multikulturalisme mengahuruskan adanya dialog dengan budaya-budaya yang lain, yang “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan budaya-budaya yang lain, yakni beribu jenis budaya etnik yang tersebar di berbagai pelosok persada Indonesia.
Makna konsep yang tercakup dalam istilah “suku-bangsa” (ethnic group) adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tersebut seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Sifat kesatuan dari suatu suku-bangsa bukan sifat kesatuan “kelompok”, melainkan sifat kesatuan “golongan”. Sementara ras adalah suatu kelompok orang yang agak berbeda dengan orang lain dalam segi ciri-ciri fisik bawaan. Secara etimologis ras berarti ‘golongan manusia yang jelas sekali memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya, tidak peduli bahasa dan adat. Pada dasarnya ada tiga ras pokok manusia di dunia ini, yaitu: Eropid, Negreda, dan Mongol. Dalam satu ras akan terdapat bermacam-macam suku-bangsa, bahasa dan kebudayaan.[19]
1.4.2 Landasan Teori
Kajian dalam penelitian ini pada dasarnya bertitik tolak dari sumber tertulis yang berupa teks-teks suci keagamaan sebagaimana terdapat dalam kitab Veda dan cabang-cabangnya yang berupa susastra Veda (Vedic literature). Dalam teks-teks suci keagamaan tersebut, baik secara tersurat (tagible) maupun tersirat (intangible) terkandung bermacam-macam nilai, norma, atau ajaran-ajaran religius Hinduisme yang masih dijadikan acuan dan pedoman dalam pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Hindu di Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Hindu-Bali pada khususnya.
Unsur-unsur nilai, norma-norma, atau ajaran-ajaran keagamaan yang terkandung di dalam teks-teks suci itu secara struktural terbentuk dan tersusun dalam satu kesatuan tekstual berupa tanda-tanda kebahasaan. Sebagai suatu sistem tanda kebahasaan teks-teks suci keagamaan terbut juga merupakan bagian dari sistem tanda kebudayaan. Dalam hal ini teks dipahami sebagai sistem tanda bahasa, akan tetapi pengertian teks sesungguhnya lebih luas daripada sekadar kalimat di dalam halaman buku,[20] tetapi teks dapat meliputi segala bentuk representasi dalam konteks kebudayaan manusia.
Dalam usaha memahami makna teks-teks suci keagamaan tersebut, seorang pembaca dituntut memiliki kesanggupan untuk melakukan pembedahan dan interpretasi terhadap sistem tanda-tanda tekstual yang membungkusnya. Untuk melakukan penafsiran ke arah pemahaman (verstehen) isi teks-teks suci Veda, Bhagavadgita, Sarasamuccaya, dan teks susastra Veda lainnya, terutama untuk mengungkapkan unsur makna yang berkaitan dengan konsepsi kerukunan hidup umat beragama, digunakan teori hermeneutik.
Istilah hermeneutik atau hermeneutika secara etimologis berasal dari kata ‘hermeneuin’ yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna, seni interpretasi (the art of interpretation). Secara singkat hermeneutika dapat didefinisikan dalam enam bentuk yang berbeda, yaitu: (1) teori eksegenesis Bibel, (2) metode filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fundasi metodologis Geisteswissenchaften, (5) fenomenologi eksistensial, dan (6) sistem interpretasi yang digunakan untuk meraih makna di balik simbol-simbol dan mitos.[21]
Hermeneutik merupakan hasil pemikiran Friederich Schleiermacher (1768—1834), ahli teologi dan juga ahli filologi klasik dari Jerman. Ia berasumsi bahwa jika orang memahami sesuatu, hal itu terjadi dengan analogi, yakni dengan jalan membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Yang diketahui itu membentuk kesatuan-kesatuan yang bersistem atau juga membentuk lingkaran-lingkaran yang terdiri atas bagian-bagian. Lingkaran tersebut sebagai satu keseluruhan menentukan arti masing-masing bagian, dan bagian-bagian itu secara bersama-sama membentuk lingkaran. Lingkaran inilah yang disebutnya lingkaran hermeneutik. [22]
Schleiermacher menggunakan hermeneutika sebagai metode untuk menjawab pertanyaan sekitar validitas catatan-catatan sejarah dan Al-Kitab, penjelasan tentang realitas dan fenomena alam, tentang otoritas agama untuk mengatur kehidupan, tentang keabsahan klaim-klaim agama untuk kemurnian wahyu yang mereka terima di tengah pluralitas agama di dunia. Pertanyaan yang paling mendasar bagi Schleiermacher adalah, “Apakah umat Kristen masih dapat mempertahankan imannya atas Allah, di tengah-tengah zaman di mana manusia lebih mempercayai hasil observasi-eksperimen ilmiah daripada iman dan kepercayaan pada hal-hal metafisika yang spekulatif?”[23]
Pemikiran Schleiermacher tentang hermeneutika itu digarap lebih lanjut oleh W. Dilthey (1833—1911) ahli filsafat (juga dari Jerman), yang melihat hermeneutika sebagai metode ilmu sosial dan humaniora, yaitu semua studi yang menafsirkan ekspresi kehidupan kejiwaan manusia, seperti hukum tertulis, karya seni, termasuk teks-teks suci keagamaan. Sejalan dengan Schleiermacher, Dilthey juga berpendapat bahwa kegiatan pemahaman (verstehen) berlangsung di dalam prinsip lingkaran hermenutik, dan terkait dengan konteks sejarah. Menurutnya metode verstehen dapat mengungkapkan kebenaran obyektif jika terpenuhi tiga syarat, yaitu: (1) perhatian, minat yang mendorong penelitian yang benar-benar murni, (2) obyek studi, yaitu ungkapan dalam kehidupan manusia telah “baku” atau “tetap” selama masa yang panjang, sehingga wujud benar-benar sesuai dengan bentuk aslinya, dan (3) proses interpretasi sesuai dengan interpretasi yang sudah baku untuk “menciptakan kembali” obyek studi dalam diri ilmuan sendiri berdasarkan perasaan empati terhadap sesama manusia.
Dengan demikian, hermeneutika tidak saja digunakan sebagai metode untuk menafsirkan teks kitab suci, akan tetapi berkembang sebagai metode penafsiran teks dalam pengertian luas, seperti: tanda, simbol, ritual keagamaan, karya seni, karya sastra, sejarah, psikologi (psikoanalisa) dan lain-lain. Jadi hermeneutika adalah “pisau” analisis tentang segala sesuatu yang mengandung makna equivocal dan bukan menjelaskan makna simbol univocal (simbol logika dan matematika) di mana satu simbol hanya memiliki satu makna yang jelas.
1.5 Metodologi Penelitian
Berdasarkan pemerian di atas dapat dipahami bahwa sumber data yang digunakan dalam kajian ini pada dasarnya berupa teks-teks suci keagamaan yang terdapat dalam kitab Veda dan susastra Veda, yang hampir semuanya berupa buku terbitan yang berisi teks dan terjemahannya. Dari ciri dan sifat data tersebut, maka metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kepustakaan (library research), yakni mendasarkan pengumpulan dan pemerolehan data yang berupa data-data tekstual yang diambil dari sumber kepustakaan yang digunakan, yaitu: bagian-bagian kitab suci Veda, Bhagavadgita, Sarasamuccaya, dan karya-karya yang termasuk dalam susastra Veda.
Data-data tekstual yang dikumpulkan melalui proses membaca secara close reading selanjutnya dipilah dan dikelompokan ke dalam pokok-pokok yang berkaitan dengan konsepsi dasar kerukunan hidup umat beragama. Dari sekumpuulan data-data tekstual yang tersedia, dilanjutkan dengan analisis isi (content analysis) dan interpretasi makna dengan menerapkan teori hermeneutik seperti dijelaskan di atas. Hasil dari analisis atas ungkapan-ungkapan konsep kerukunan hidup umat beragama yang terkandung dalam teks-teks suci Veda tersebut, selanjutnya dituangkan uraian secara deskriptif.
2. MEMAHAMI KONSEP–KONSEP MULTIKULTURAL
DALAM KITAB SUCI VEDA
2.1 Tataran Makna Multikultural dan Hermeneutika
Pemahaman dan pemaknaan “konsep multikultural” dalam konteks hidup umat beragama menjadi relatif, inter-subyektif, dan kondisional. Tingkat relativitas pemahaman yang bervariasi itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari kualitas “multikultur” yang secara ontologis dicerap dalam sistem kognitif kita, tidak mudah diukur dalam suatu interval matematis. Istilah “multikulturalisme” merupakan ideologi yang bersifat abstrak dan secara sintak-semiotis digunakan untuk menandai “suatu makna konsep tentang pola pemikiran, kesadaran, sikap dan pola perilaku kehidupan umat beragama yang pada hakikatnya adalah masyarakat majemuk (plural society), tetapi hidup dalam keadaan atau suasana harmonis saling menghargai dalam segala kualitas perbedaan budaya-agama.”
Untuk membantu memahami dam memaknai konsep multikultural tersebut, secara teoretis hermeneutika mengajukan tiga tataran analitis teks, yaitu: (1) tingkat pertama disebut litera yang berhubungan dengan gramatikal teks, (2) tingkat kedua disebut sensus yang berhubungan dengan cara pemaknaan secara harfiah dan naratif, dan (3) tingkat ketiga bertemunya litera dan sensus yang membentuk cortex luar dari teks.[24] Model ini jika dikaitkan dengan cara pemahaman Todorov,[25] maka pemaknaan tingkat (1) dan (2) disebut tahap sintak-semiotik atas makna gramatikal teks (in praesentia), kemudian pada pemaknaan tingkat (3) di atas disebut tahap semantik-semiotik (in absentia).
Interpretasi dan pemaknaan (verstehen) ungkapan konsep-konsep “multukultural” yang terkandung dalam teks-teks suci Veda dalam ketiga tataran: litera-sensus-cortex juga ditopang oleh pemahaman secara isotopi (dilihat dari ‘medan makna leksikal’). Berdasarkan pemahaman di atas, “multikulturalisme” Hindu yang merupakan landasan untuk mengkondisikan “kerukunan” (Jagaddhita atau Krêta) dan kedamaian (Santih) dalam konsep Hindutva, secara isotopis mengandung beberapa kategori (aspek) medan-makna sebagai berikut:
(1) Toleransi (Tat Tvam Asi),
(2) Kedamaian atau tanpa tindak kekerasan (Ahimsa Dharma)
(3) Kesetaraan kemanusiaan (Samadarsitva), dan
(4) Tegaknya nilai-nilai dharma sebagai dasar pluralisme dan keharmonisan (Sarva dharma samabhava).”
Keempat kategori isotopi makna di atas untuk selanjutnya diacu sebagai dasar pemahaman ungkapan “multikulturalisme”. Konsepsi tersebut dalam ‘paradigma’ Hindutva disebut Atma-Darsanah dan Sarwatra Sama-Darsanah. Pembahasan tentang konsep-konsep di atas yang tersirat dalam teks-teks suci keagamaan terutama kitab-kitab Veda dapat disimak dalam uraian selanjutnya.
2.2 Memahami ‘Paradigma’ Pluralis-Multikultural dalam Veda
Dalam kitab Bhagavadgita[26] VI. 29—32 yang merupakan Pancama-Veda secara tersirat (implisit) dapat disimak tentang konsepsi ‘paradigma’ pluralis-multikultural. Paradigma tersebut secara teologis-filosofis mendasarkan cara pandangnya pada “Atma” (percikan sinar suci Brahman/Tuhan) yang menyebabkan makhluk itu hidup, sehingga hal ini disebut Atma-darsanah.
Berdasarkan anasir Atma tersebut, maka paradigma ini memandang dan beranggapan bahwa semua makhluk hidup itu secara teologis (in absentia) adalag sama, hanya wadag-fisiknya (in presentia) saja yang berbeda. Ungkapan paradigma pluralis-multikultural tersebut dapat disimak dalam beberapa sloka berikut.
Sarvaklitastham atmanam
sarvabhutani ‘tmani,
iksate yogayuktatma
sarvatra samadarsanah (Bg.VI.29)
Yo mam pasyati sarvatra
sarvam ca mayi pasyati,
tasya’ham na pranasyami
sa ca me na pranasyati (Bg. VI.30)
Atmaupamyena sarvatra
Samam pasyati yo’Arjuna,
Sukham va yadi duhkham
Sa yogi paramo matah (Bg.VI.32)
Terjemahannya:
Dia yang melihat Atma ada pada semua insan, dan semua insan ada pada Atman, di mana-mana ia melihat sang sama, adalah dia yang jiwanya terkendalikan dalam yoga.
Dia yang melihat Aku di mana-mana, dan melihat segalanya ada pada-Ku, Aku tidak bisa lepas dari padanya, dan dia juga tidak bisa lepas dari pada-Ku.
Yogi yang dianggap tertinggi adalah Ia yang melihat di mana-mana sama, Atman itu sebagai atmanya sendiri, O Arjuna, baik dalam suka maupun dalam duka.
Dari ketiga buah Sloka di atas, dengan jelas dapat dipahami tentang konsep ‘paradigma’ pluralis-multikultural Hindu (Veda). Apabila cara pandang atau sudut pandang itu diarahkan “ke dalam” (in absentia) yakni tertuju pada Atma (Atma-darsanah), maka secara otomatis sudut pandang yang memancar “ke luar” adalag “Sarvatra Sama-Darsanah”, yakni berpandangan sama dan sederajat pada sesama manusia, bahkan memandang “sama” pada sesama makhluk hidup yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Dengan demikian, ‘paradigma’ multikultural Hindu pada dasarnya dilandasi konsep “esensialisme” yang melihat hakikat entitas jiwa-Atma (yang in absentia) sebagai lebih tinggi dari sekadar realita yang terrepresentasikan berupa wadag-fisik (in presentia). Oleh karena kebhinekaan dan kemajemukan berasal dari Brahman selaku Sang Pencipta, maka niscaya mempunai hakikatnya yang sama dengan yang Tunggal. Konsepsi inilah yang mendasari semua ungkapan aspek-aspek multikultural yang terkandung dalam Veda dan susastra Veda.
2.3 Ungkapan Aspek-Aspek Konsep Multikultural dalam Veda
2.3.1 Tat Tvam Asi (Toleransi Religius)
Tat Tvam Asi merupakan suatu formula moral-religius yang merefleksikan pandangan advaistik (doktrin monistis) dari filsafat Vedanta. Pada tataran litera dan sensus, ungkapan etik Tat Tvam Asi sebagai satu aspek dari konsep “kerukunan” bermakna bahwa “Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Aku adalah Dia”, dan seterusnya. Akan tetapi makna tersebut relatif abstrak bagi masyarakat pada umumnya, jika hanya pata tataran tersebut. Oleh karena itu, makna ajaran etik dalam ungkapan tersebut baru dapat dipahami dengan tepat setelah membentuk cortex, sebagaimana dapat disimak dalam wacana naratif-filosofis yang terdapat di dalam kitab Chadogya Upanisad. Ungkapan ajaran moral-religius Tat Tvam Asi ini dalam kitab Candogya Upanisad 6, 7, 8 disebutkan dengancara sebagai berikut:
“Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwātma) dan zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwātmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwātma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engaku; aku adalah Brahma” (Mantra, 1993: 10).
Makna ajaran Tat Tvam Asi tersebut dapat dipahami oleh pembaca setelah membetuk cortex berupa dialog filosofis-teologis-religius antara Rsi Uddalaka Aruni dengan putranya yang bernama Svetaketu yang terus bertanya secara skeptis. Rsi Uddalaka pun menjelaskannya dengan analogi-analogi secara bertingkat-tingkat (seperti dalam cerita berbingkai); dan analogi merupakan dasar verstehen yang efektif dalam model hermeneutik.
Berkenaan dengan ungkapan di atas, dalam Svetasvatara Upanisad VI.11 juga diungkapkan sebagai berikut:
“Eko devas sarva bhūtesu gūdhas
sarva vyāpī sarva bhūtāntarātmā
karmādhyaksas sarva bhūtādivāsas
sāksi cetā kevalo nirgunaśca”
Terjemahannya:
“Tuhan Yang Mahaesa yang tersembunyi pada setiap makhluk, ada di mana-mana, Atman dari semua makhluk, memerintah semua tindakan, berada dalam setiap ciptaan dan menjadi saksi abadi tanpa memiliki sifat apapun”.
Konsep/nilai ajaran Tat Twam Asi juga merupakan dasar kesadaran eksistensialisme Hindu tentang ‘aku’ dan ‘engkau’ serta ‘dia’ (tentang relaitas ‘diluar-aku’) dalam satu-kesatuan kosmis; dan sesungguhnya hal ini adalah suatu bentuk “kesadaran-Atma”, semacam “meta-kognisi” yang mennyentuh esensi suatu realitas inderawi. Lebih jauh, bentuk “kesadaran-Atman” senantiasa menempatkan dirinya dalam interaksi-dialektis; hal ini juga diungkapkan dalam kitab Chanakya Arthasastra XII.15 yaitu sebagai berikut:
“Paro’pakaranam yesam jagarti hrdayah satam,
nasyanti vipadaśtesam sampadah syuh pade pade.”
Terjemahannya:
“Dia yang selalu melindungi dan memikirkan kepentingan makhluk lain, segala kesulitannya akan musnah dan selalu beruntung dalam setiap langkahnya.”
Dari ungkapan tersebut patut dipahami bahwa hakikat “kesadaran-Atman” yang mengejawantah dalam setiap wujud makhluk hidup yang terepresentasi dalam rumusan Tat Tvam Asi adalah landasan yang membentuk kesadaran humanisme-religius Hindu secara universal. Melaui hidup dengan “kesadaran-Atma” seseorang dpat melakukan pengendalian atas nafsu-nafsu inderawi yang bersifat kontra produktif dengan usaha mewujudkan kerukunan umat beragama; dan hal ini sekaligus sebagai dasar sikap etik Ahimsa Dharma (non-violance) yang diuraikan selanjutnya.
2.3.2 Ahimsa Dharma (Tanpa Kekerasan dan Kedamaian)
Ahimsa Dharma dan Tat Twam Asi pada dasarnya merupakan dua konsep moral yang dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang, karena tidak dapat saling dipisahkan. Kedua ajaran moral yang merupakan landasan “kerukunan” hidup beragama ini pada tahap yang paling awal dimulai dari pemahaman nilai dan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu: berpikir benar-berkata benar-berperilaku benar. Pemahaman akan kedua dasar moral ini merupakan conditio sine qua non (prasyarat mutlak) yang mengarah ke upaya membangun kerukuan hidup umat beragama. Jika ketiga aspek tersebut tidak berjalan secara linier di lapangan, maka seorang manusia terpelajar itu akan terjebak dalam hipokrisi atau kemunafikan. Oleh karena itu, aplikasi ajaran Tri Kaya Parisudha dalam pendidikan agama menjadi esensial dalam upaya mewujudkan masyarakat pluralis-multikultural.
Dalam kedua konsep di atas terkandung pengertian simpati dan empati secara humanis-religius. Dalam Bhagavadgita X.5 disebutkan:
Ahimsā samatā tustis tapo dānam yaśo`yasah,
Bhavanti bhāvā bhutānām matta eva prthag-vidhāh
Terjemahannya:
“Tanpa kekerasan, keseimbangan pikiran, kepuasan, kesederhanaan, amal sedekah, kemasyuran dan kehinaan, semuanya ini adalah keadaan dari makhluk yang hanya berasal dari Aku saja.”
Sloka di atas memahamkan bahwa seorang terpelajar di bidang keagamaan (mengaku beragama) tidak dibenarkan melakukan kekerasan atau tindakan himsakarma (membenci, menyakiti, menyiksa, atau membunuh) sesama insan atau makhluk lain. Dalam Yajurveda XL.6 juga disebutkan:
Yatsu sarvāni bhūtāny ātmāny evanupasyati,
Sarva bhūtesu cātmānam tato na vi cikitsati.
Terjemahannya:
“Tetapi seseorang yang telah melihat Dia (Atman) ada pada setiap makhluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada-Nya, ia tidak akan membenci (makhluk) yang lain.
Ahimasa Dharma yakni suatu kesadaran dan pola pikir yang tanpa kekerasan, juga sebagai suatu kemampuan untuk menghindarkan diri dari dari berbagai konflik, merupakan aspek yang sangat esensial dalam upaya menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Ahimsa Dharma adalah dasar fundamental dalam mengarahkan kehidupan yang penuh kedamaian, karena hanya dengan sikap dan kesadaran ini keadaan dan suasan damai dapat terwujud; dan kerukunan tersebut baru dapat dicapai dalam suasana kedamaian tersebut.
Dalam Yajurveda XXXVI.17 diungkapkan bahwa kedamaian sebagai satu aspek yang membentuk konsep “kerukunan” merupakan unsur esensial dari alam semesta ini. Ungkapan tersebut dapat disimak pada kutipan berikut ini:
“Dyauh śāntir antariksam śāntih,
prthivi śāntir apah śāntir osadhayah śāntih,
vanaspatayah śāntir viśve devah śāntir,
Brahma śāntih sarvam śāntih,
Śāntir eva śāntih sa mā śāntir edhi.”
Terjemahannya:
“Semoga ada kedamaian di langit, di udara yang meliputi bumi (atmosfir) dan di atas bumi, semoga air, tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman menjadi sumber kedamaian untuk semuanya. Semoga semua para Dewa dan Tuhan Yang Mahaesa menganugrahkan kedamaian pada kami. Semoga terdapat kedamaian (ketentraman) di mana-mana. Semoga kedamaian itu datang kepada kami.”
Dalam ungkapan tersebut, dapat dilihat bahwa kedamaian sebagai esensi semesta sejalan dengan pandangan kosmologi Hindu yang menganut azas teori cosmos (keteraturan) atau dharma yang bertentengan dengan teori chaos (kekacauan) yang disebut adharma. Kerukunan tak dapat diciptakan apabila alam semesta ini dalam keadaan disharmoni, misalnya rusaknya hutan akibat perilaku perusahaan yang melakuan penebangan liar jelas mengancam kerukunan masyarakat dan tatanan ekologis dalam arti luas; atau asap dari atau kebakaran hutan jelas tidak membuat kita merasa tentram. Dengan demikian, konsep “kerukunan” umat beragama dalam pandangan Hindu dapat terwujud dalam satu-kesatuan pemahaman equilibrium.
2.3.3 Samadarsitva (Kesetaraan Kemanusiaan)
Samadarsitva sebagai satu aspek dari konsep “keruknan” hidup merupakan spekulasi Hindutva tentang egalitarianisme, yakni pandangan kesetaraan dan kesederajatan tidak saja dalam konteks sesama umat manusia, melainkan yang lebih hakiki adalah antar-sesam makhluk hidup. Samadarsitva sebagai formulasi pemikiran Veda tentang HAM dan pluralisme-multikulturalisme dalam konteks kehidupan semesta yang seluas-luasnya. Samadarsitva tidak sekadar kesadaran “right to culture diversity” terutama dengan kelompok minoritas, tetapi pada pada hakikatnya semua umat manusia dan makhkuk hidup adalah sama di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi karena karma wasana-lah mereka menjadi berbeda-beda dalam wujud fisik, sosial, dan budaya. Rasa persamaan ini akan menjadi pendorong tumbuhnya sikap persahabatan dan persaudaraan semesta secara pluralis-multikultural. Dalam kitab Yajurveda XXXVI.18[27] dikatakan sebagai berikut:
Mitrasya mā caksusā sarvāni bhūtāni samīksantām,
Mitrasyāham caksusā sarvāni bhūtāni samīkse,
Mitrasya caksusā samīksamahe.
Terjemahannya:
“Semoga semua makhluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat, semoga saya memandang semua makhluk sebagai seorang sahabat, semoga kami saling berpandangan penuh persahabatan.”
Selanjutnya dalam kitab Rgveda X.191.3 juga dinyatakan mantra yang selaras dengan kutpan di atas, yaitu sebagai berikut:
“Wahai umat manusia, semoga anda berpikir bersama-sama. Semoga anda berkumpul bersama-sama. Hendaknyalah pikiran-pikiranmu dan gagasan-gagasanmu sama. Aku memberimu pemikiran yang sama dan kemudahan-kemudahan yang sama pula.”[28]
Samadarsitva yang dicetuskan oleh Swami Wiwekananda sebagai suatu spekulasi tentang kesetaraan kemanusian dan makhluk lainnya; atau dengan kata lain, sebagai “persamaan dalam segala-galanya” adalah ungkapan yang dilandari paham advaistik dari filsafat Vedanta.
2.3.4 Sarva Dharma Samabhava
Ungkapan sarva dharma samabhāva secara harfiah diartikan bahwa semua dharma/kebenaran (agama) adalah sama dan saling selaras satu sama lainnya. Secara teologis-filosofis Hindu meskipun mengenal beribu nama dewa, tetapi pada dasarnya mengagungkan Tuhan Yang Maha Tunggal (monoteistis) yang disebut Brahman atau Hyang Widhi (istilah Nusantara). Sesuai dengan dengan pandangan teologi-pluralisme yang dianut, Hindu mengakui adanya kebenaran pada agama-agama. Dalam Rgveda X.129.6 Brahman disebutkan sebagai “Kebenaran Mutlak” (Tat Sat), dan dalam Brahmasutra, Brahman dikatakan: “Tad avyaktam, aha hi” bahwa Tuhan itu tidak terkatakan (abstrak), dan dalam Chandogya Upanisad VI.2.1 dikatakan, bahwa sesungguhnya Brahman/Tuhan itu tunggal tidak ada duanya (Ekam eva Adwityam) dan dari pada-Nya semua makhluk tercipta (tasmad asatah sajjāyata).
Pemahaman konsep teologis dan kesadaran filsafati bahwa Tuhan itu hanya satu merupakan landasan yang sangat penting dalam pendidikan agama pluralis-multikultural. Karena adanya agama dan kepercayaan yang bermacam-macam (sarva dharma) semata-mata sebagai media atau “jalan” yang terkait dengan konteks historis dan sosiologis. Dengan demikian, semua jalan agama dan kepecayaan yang ditempuh oleh umat manusia untuk memahami hakikat Sang Pencipta secara filosofis adalah sama, yakni: penyadaran dan pencerahan mental-spiritual manusia sebagai homo-religious. Dalam Bhagavadgita,[29] IV.11 dan VII.21 dinyatakan sebagai berikut:
“Ye yathā mam prapādyante
tamstathai’va bhājamy aham,
mama vartma’nuvartante
manusyah partha sarvasah.”
“Yo-yo yām-yām tanum bhaktah
śraddhayarcitum icchati,
tasyā-tasyā calam sraddham
tam eva vidadhāmy aham.”
Terjemahannya:
“Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Partha.’
“Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera.”
Jadi religiusitas merupakan inti terdalam dari kesadaran keagamaan/ kepercayaan tertentu yang dianut secara formal. Dengan kesadaran filosofis sarva dharma samabhava ini, setiap orang terpelajar yang mengaku beragama tentu sekaligus juga memiliki pemahaman multi-religius dan sikap menghargai agama dan kepercayaan yang lain, sehingga eksklusivitas agama dapat direduksi. Pemahaman ini sekaligus menegasikan berbagai dorongan konflik-konflik ideologis (agama, ras, dan etnik) yang mungkin muncul akibat gesekan perbedaan pandangan antara kepercayaan yang satu dengan yang lainnya, baik secara internal maupun eksternal. Jadi pada hakikatnya, konsep “kerukunan” hidup umat beragama (Jagaddhita) dalam perspektif teks-teks Veda, di samping dilandasi oleh aspek-aspek nilai filsafati praktis-duniawi, ternyata juga terkait dengan landasan teologis-religius. Sebab Hindu atau Veda secara kosmologis memandang bahwa “kerukunan” hidup duniawi tidak terpisahkan dengan pencapaian “kerukunan” hidup abadi di pangkuan Brahman selaku Sang Pencipta; Brahman Atman Aikhyam dapat dicapai baik dalam kehidupan di dunia ini ataupun setelah meninggalkan kehidupan di dunia ini.
3. MEMBUMIKAN WAWASAN MULTIKULTURAL
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HINDU
3.1 Beberapa Pendekatan untuk Membumikan Wawasan Multikultural
dalam Konteks Masyarakat Majemuk di Indonesia
Kondisi umat beragama dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sejak dasa warsa 1990-an rupanya mengalami kemerosotan cukup signifikan; jika meminjam istilah Freud, “wajah religius” yang tampak ke permukaan bersifat “semu”. Karena dalam berbagai peristiwa kerusuhan dan kekerasan di daerah-daerah konflik baik berupa konflik struktural maupun konflik kultural dapat dilihat adanya dorongan fundamentalisme, militanisme etno-religius dari alam bawah sadar kolektif mereka sangat kental, bahkan tindakan sadisme pun tyidak terhindarkan. Dalam kondisi kerukunan yang “sakit” seperti itu, upaya pemulihannya secara analogis mirip dengan studi kesehatan, yang mempunyai pola segitiga: diagnosis-prognosis-terapi (DPT) sebagaimana diterapkan Johan Galtung dalam studi perdamaian.[30] Pola ini mencerminkan kerangka segitiga: data-teori-nilai yang sepadan dengan proses trianguler spiral: emperisisme-kritisisme-konstruktivisme.
Secara awam diagnosis atas gejala patologis yang menghambat tumbuh-berkembangnya kerukunan hidup umat beragama, antara lain dapat berupa: faktor intern (seperti pemahaman teologis, ideologis) dan faktor ekstern (seperti: sosial, kultural, politik-hukum, dan sebagainya) sehingga masih dirasakan kurang kondusif. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi sumber konflik tersebut, maka dapat dilakukan prognosis, prediksi berbasis teori tentang berbagai kemungkinan yang muncul di masa yang akan datang, sehingga upaya social-kultural engineering (dalam arti positif dan proporsional dari pihak pemerintah (top down) relatif diperlukan di samping upaya dari bawah (bottom up). Sebagai contoh, program Tri Kerukunan Umat Beragama dalam sosialisasinya ternyata baru dipermukaan (kurang efektif), karena belum menyentuh kehidupan masyarakat pada lapisan bawah (the grass-roots level). Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat diajukan beberapa pendekatan yang bersifat konsepsional untuk memahami dan membumikan wawasan multikultural di kalangan umat beragama yang dikenal dalam pemikiran Hindutva, antara lain: (a) teologis (teologi pluralisme dan philosophia parennis), (b) kultural, (c) sosial-politik, (d) pendidikan pluralis-multikultural dan dialog lintas agama dan budaya (cross cultural and religion).
3.1.1 Pendekatan Teologis
Pandangan teologis yang melandasi Hinduisme (sebagaimana representasi yang tampak) adalah teologi pluralisme, yang sering juga disebut “pluralistis-monistis” karena segala bentuk presentasi dan representasi (Saguna Brahman) sesungguhnya mengacu pada Sat Transendetal yang Tunggal (Nirguna Brahman), sehingga Hindu (agama Veda) pada hakikatnya adalah monoteistis. Betitik tolak dari pandangan teologi pluralis ini, Hindu secara prinsipal mengacu pada “kebenaran” Veda sebagai pedoman pola pikir, sikap dan perlikau “wajib” bagi penganutnya, akan tetapi juga memberikan toleransi yang sangat besar dalam mengakui bahwa “kebenaran” juga ada pada agama-agama lain. Berbagai refleksi “kebenaran” yang dicerap pada tataran duniawi menjadi bersifat relatif, termasuk “kebenaran” agama dan “Kebenaran Absolut = Nirguna Brahman” adalah abadi adanya, yang disebut Sanatana Dharma. Dengan demikian, penyadaran manusia Hindu tentang Dharma sebagaimana disebut dalam Veda: “Dharma Raksati Raksitah” (Kebenaran Abadi akan menjaga dan melindungi yang meyakininya) dan rumusan “Brhman Atman Aikhyam” (bahwa ‘Atman adalah manunggal dengan Brahman’) menjadi dasar (epitemologis) konsep kerukunan hidup beragama.
Kerukunan hidup di dunia ini pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kerukunan dan keterntraman “alam kedewaan”; dan tingkat kualitas dharma lah yang menentukan manusia Hindu mendapat “salvation” (di dunia dan di akhirat). Dalam kitab Atharvaveda[31] III.8.5 dan III.30.4 dinyatakan sebagai berikut:
“Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat salah menuju jalan yang benar.”
Wahai umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugerahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu.”
Dengan pendekatan “penyadaran teologis” yang pluralis-monistis ini, pandangan Hindutva tidak mengklaim kebenaran Veda sebagai kebenaran tunggal, juga tidak memaksakannya kepada paham agama dan kepercayaan yang lain. “Penyadaran Teologis” untuk melihat secara jernih “kebenaran” religius yang diyakini merupakan langkah fundamental dalam upaya menanamkan “kesadaran” pluralis-multikultural dalam hidup umat beragama di Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk; tanpa “penyadaran” ini besar kemungkinan bahwa toleransi-religius umat beragama hanya di permukaan belaka.
3.1.2 Pendekatan Kultural: Tri Hita Karana
Pola pengkondisian (conditioning) “kesadaran multikultural” dalam umat beragama dengan model pendekatan kultural—sebagai suatu contoh—dapat disimak secara emperis dari pengalaman masyarakat Hindu-Bali. Pola tersebut dapat dilihat pada konsepsi Tri Hita Karana yang melandasi penataan geo-kultural masyarakat adat Bali secara keseluruhan. Dalam konsepsi Tri Hita Karana tersebut dapat kita simak hubungan dialektis, dialogis, serta dinamis antara Tuhan (Parhyangan), manusia (Pawongan), dan alam lingkungan (Palemahan). Kerukunan dalam konsepsi ini terjalin dengan antara manusia-Tuhan, manusia-manusia (horizontal), dan manusia-alam lingkungan/alam bawah, sehingga secara multikulturalis manusia Hindu-Bali terbentuk dalam suatu equlibrium sesuai dengan pandangan ‘humanisme-religius’.
Konsepsi pengkondisian kesadaran multikulturalis dalam konsepsi ini merupakan penjabaran dari ungkapan yang terdapat dalam kitab Atharvaveda[32] XIV.1.1, yaikni:
“Satyena-uttabhitā bhūmih,
sūryena-uttabhitā dyauh.
Rtena-ādityās tisthanti,
Divi somo adhi śritah.”
Terjemahannya:
“Kebenaran menyangga bumi, matahari menyangga langit. Hukum alam menyangga matahari. Tuhan Yang Maha Kuasa meresapi seluruh lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfir).”
Melalui tatanan ini, tiap orang yang berada di dalam atau di luar terikat dalam satu kesatuan kosmologis untuk bertanggung jawab memelihara dan menjaga tetap ajeg-nya keharmonisan dan kerukunan; dan kerukunan menjadi suatu sebuah sistem ekologis-religius. Pada tataran ini kegiatan seperti Dialog Lintas Agama-Budaya atau Kemah Budaya hingga ke lapisan masyarakat bawah penting diselenggarakan, sehingga terjadi saling pemahaman tentang unsur-unsur budaya dan keagamaan secara universal.
3.1.3 Pendekatan Sosial-Politik
Apabila liberalisme memang dapat dilihat sebagai suatu perluasan dari prinsip toleransi agama, penting untuk mengakui bahwa toleransi kergamaan di Barat telah mengambil bentuk yang sangat khusus, yakni: pemikiran kebebasan beragama individu (yang kini menjadi hak dasar individu untuk beribadah, menyebarkan agama, pindah agama, termasuk menolak agama). Jadi dilihat dari perkembangan sosial-politik dalam arti luas, maka pemulihan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia pun tidak terpisahkan dari dinamika sosial tersebut. Sistem sosial di masa lalu dapat diacu, misalnya, dalam ‘sistem millet’ dari kerajaan Ottoman (Turki), umat Islam, Kristen, dan Yahudi diakuai sebagai satuan yang memerintah diri sendiri (millet).
Pola yang juga mirip dengan sistem millet ini adalah sistem sosial yang dianut Majapahit dalam menjaga kerukunan hidup umat beragama dan etnis pada masa itu. Kerajaan vasal mengatur diri sendiri, juga komunitas Islam di pesisir. Dalam kitab Veda pola pemulihan kerukunan hidup umat beragama dengan pendekatan sosial-politik (politik perdamaian) dapat disamakan dengan konsepsi Lokasamgraham (persaudaraan semesta), yang memandang dunia ini sebagai sebuah “rumah tangga” dan segenap makhluk merupakan “anggota keluarga” (cikitsur lokasamgraham). Melalui konsepsi “rumah tangga semesta” kerukunan dan kedamaian tercipta sebagai satu keseluruhan; dan di dalamnya social-kultural engineering berlangsung secara natural. Pola pendekatan ini masih dapat kita simak dalam tatanan sistem sosial-religius Hindu-Bali yang disebut desa pakraman atau desa pakěrtan. Dalam setiap satu kesatuan desa pakraman, secara teritorial membangun suatu tatanan sosial yang berfungsi untuk menciptakan kerukunan hidup umatnya, baik lahir maupun batin. Konsepsi desa pakraman ini juga diadopsi dalam tatasan sosial komunitas-komunitas Islam di Bali, seperti desa Pagayaman, Singaraja. Sistem organisasi sosial yang secara konsepsional dilandasi oleh “ideologi multikulturalistis” tersebut mampu memelihara bentuk sinkretisme Hindu-Islam sebagai suatu sistem nilai keagamaan, kedamaian, dan kerukunan hidup umat beragama di desa pakraman di Desa Pagayaman, Buleleng ini.
3.1.4 Pendekatan Pendidikan Pluralis-Multikultural
Sistem pendidikan multikultural pertama kali muncul dalam tahun-tahun 1970-an di Inggris dan Australia. Kemudian menjalar juga ke Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di Eropa.[33] Dalam sistem pendidikan itu kurikulum sekolah memberi tempat bagi pelajaran mengenai berbagai sistem budaya dari kelompok ras yang ada di negara tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan monokultural yang pernah dikembangkan oleh pemerintah Belanda di zaman kolonial (mulai tahun 1817), di mana sekolah-sekolah dan kurikulumnya disesuaikan dengan lingkungan budaya masing-masing. Sejak pendudukan militer Jepang, sistem pendidikan monokltural mulai dihapus dan mengarah ke sistem pendidikan multikultural. Menurut pandangan Sleeter dan Grant,[34] dalam sistem pendidikan multikultural pada dasarnya dikenal 5 tipologi, yaitu:
(1) Mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya lain (culture difference), terutama pada siswa dalam transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam mainstream yang ada.
(2) Hubungan antar-manusia (human relations) merupakan program untuk membantu siswa dari kelompok-kelompok tertentu sehingga dia dapat mengikuti bersama-sama dengan siswa yang lain dalam kehidupan sosial.
(3) Single group studies, yaitu program yang mengajarkan mengenai hal-hal yang memajukan pluralisme tetapi tidak menekankan kepada adanya perbedaan srtatifikasi sosial yang ada di dalam masyarakat.
(4) Pendidikan multikultural merupakan program reformasi pendidikan di sekolah-sekolah dengan menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang menekankan pada adanya perbedaan siswa dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme kebudayaan dan equlitas (kesederajatan) sosial.
(5) Pendidikan multikultural yang bersifat rekonstruksi sosial, yang merupakan suatu program baru untuk menyatukan perbedaan-perbedaan kultural dan ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada di masyarakat, sehingga program ini disebut sebagai “critical multicultural education”.
Terkait dengan kelima tipologi tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa pendidikan pluralis-multikultural adalah proses penyadaran yang berwawasan pluralisme (secara agama) dan sekaligus berwawasan multikulturalisme (secara budaya). Jadi pendidikan pluralis-multikultural haruslah dilihat sebagai bagian dari usaha komprehensif dalam menghindari, mencegaj, dan menanggulangi konflik-konflik bernuansa etnis dan agama di masa mendatang.
Dalam kaitannya dengan pendidikan agama, wawasan pendidikan pluralis-multikultural merupakan bekal penting agar kalangan terpelajar dan masyarakat luas menghargai perbedaan, menghormati secara tulus, komunikatif, terbuka, dan tidak saling curiga, di samping untuk meningkatkan iman dan taqwa.[35] Mengingat pendidikan agama merupakan salah satu pilar penyangga kerukunan umat beragama, dan kerukunan umat beragama pada dasarnya adalah pilar kerukunan hidup berbangsa-bernegara, maka pendidikan agama pluralis-multikultural tidak saja menjadi fondasi integritas nasional yang kokoh, tetapi juga menjadi fondasi pengayoman keberagaman-keberagmaan yang sejati.
Titik berat pertama pendidikan agama pluralis-multikultural terletap pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusifisme kelompok agama tertentu atau budaya yang sempit. Di samping itu, pendidikan agama pluralis-multikultural juga menekankan pada pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif untuk mengatasi masalah-masalah bersama, seperti: kejahatan, kemiskinan, dan keterbelakangan; dengan kata lain untuk mewujudkan kemaslahatan bersama atau di dalam Veda disebut Jagadhita dan Lokasmgraham, bahwa kesejahteraan sosial dan kebahagiaan hidup duniawi serta ketertraman dan kedamaian semesta di mana dunia merupakan “rumah” kita bersama, vivre ensemble.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa sasaran akhir pendidikan agama pluralis-multikultural adalah untuk menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk bersikap kritis terhadap kediktatoran penguasa, seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, dan diskriminasi. Dengan demikian, paradigma “baru” pendidikan agama pluralis-multikutural merupakan “investasi” yang sangat penting bagi perjuangan cita-cita humanisme-religius atau humanisasi pendidikan agama—yang selama ini cenderung dogmatik, doktrinal, formalistik, eksklusif—dalam upaya menuju masyarakat Indonesia plularistis-multikultural.
Sistem pendidikan agama pluralis-multikultural dalam masyarakat Hindu secara konsepsional menjadi bagian yang integral dari pemikiran teologisnya. Brahman/Tuhan Yang Maha Esa selaku sang pencipta pada dasarnya meresap-mengejawantah dalam segala ciptaan-Nya di alam semesta ini; dengan kata lain bahwa segala bentuk kehidupan makhluk hidup dan segala representasi yang ada di jagat raya ini merupakan refleksi keesaan dan keagungan Tuhan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk tertinggi yang memiliki manu (akal-pikiran) memiliki peranan sangat sentral dan penting dalam menata kehidupan di dunia ini, baik dengan bersandarkan kepada Hukum Abadi (Rtam dan Dharma) maupun hulum rasional. Meskipun manusia memainkan peranan sentral (antroposentrisme), tetapi seorang manusia Hindu tidak dapat berbuat secara sewenang-wenang, sehingga disebut dengan antroposentrisme humanis-religius. Ungkapan tentang keseimbangan mental manusia sebagai landasan sikap pluralis-multikulural dapat disimak dalam kutipan Bhagavadgita [36] VI.9 sebagai berikut:
“Suhrin-mitrary-udāsīna madhyastha dvesya badhusu,
sādhusw api ca pāpesu sama-budhir wiśisyate”
Terjemahannya:
“Ia yang berpikiran seimbang di antara kawan, rekan dan musuh, antara mereka yang netral dan menengah, di antara yang dibenci dan kerabat, di anatara para orang suci dan para pendosa, adalah (orang) utama.”
Melalui dunia pendidikan pluralis-multikultural ini internalisasi dan enkulturasi konsep-konsep kerukunan hidup umat beragama dapat ditanamkan secara mendasar. Dalam Rgveda X.191.2 dan X.191.4 dinyatakan sebagai berikut:
“Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu.”
“Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan.”
Berdasarkan kutipan teks-teks suci Veda tersebut dapat dipahami bahwa dalam konsepsi pendidikan-multikultural Hindu, seseorang tidak dibenarkan mengembangkan sikap “animocity” (rasa tidak senang) antar kelompok, terlebih antar umat beragama. Pada dasarnya Hindutva senantiasa mengedepankan upaya pencapaian kebahagiaan untuk segenap makhluk Tuhan, seperti juga terlihat dalam mantra Tri Sandhya: “Sarva prani hitahkarah” (semoga semua makhluk senantiasa sejahtera).
Lembaga pendidikan dengan paradigma pluralis-multikultural sangat memungkinkan sebagai media inkulturasi dan enkulturasi nilai-nilai kerukunan dan kedamaian yang bersifat universal. Melalui sistem pendidikan pluralis-multikultural juga dapat dikembangkan berbagai bentuk dialog keagamaan, baik dalam bentuk Dharma-tula, Dharma-wacana, Dharma-gita, Dharma-santi, atau pun Dharma-yatra, sebagai media untuk menjalin saling pengertian (mutual understanding) yang bersifat lintas agama dan budaya (cross cultural and religion).
3.1.5 Pendekatan Kreatif: Sastra-Multikultural
Upaya untuk memahami (verstehen) dan membumikan (internalisation) konsep-konsep, pemikiran dan wawasan multikultural, baik secara internal (inculturation) maupun eksternal (enkulturation)—dalam pandangan Hindutva—dapat ditempuh dengan pendekatan proses kreatif (tulis-menulis), yakni penciptaan karya-karya Sastra-Multikulturalis. Keberhasilan karya-karya Sastra-Multikulturalis sebagai media internalisasi konsepsi multikulturalisme dengan jelas dapat disimak dalam khazanah susastra Veda (Vedic literture), seperti dalam kitab Ramayana dan Mahabharata. Kedua karya sastra Veda tersebut relatif sarat muatan tentang ide/gagasan, konsep dan wawasan multikultural yang hingga kini masih tetap “mengakar” dan “membumi” baik di India maupun di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan kreatif karya-karya sastra-multikultural perlu terus didorong dan dikondisikan dalam berbagai kesempatan, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
4. KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan terhadap masalah pokok di atas, akhirnya sebagai hasil interpretasi dan analisis pada bagian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Ungkapan konsep-konsep “multikultural” yang terkandung dalam kitab-kitab Veda dapat diajukan sebagai salah satu aspek sistem nilai religius-kultural yang secara kritis-obyektif dapat diacu guna mengkonstruksi suatu pemahaman yang bersifat konsepsional dalam upaya mewujudkan “kesadaran pluralis-multikultural” dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Pola pikir, kesadaran, dan sikap “pluralis-multikultural” tersebut merupakan dasar demi terciptanya kerukunan dan perdamaian umat beragama.
2. Ungkapan konsep-konsep multikultural tersebut pada dasarnya merupakan sumbangan nilai-nilai yang sangat penting terkait dengan program pemerintah di bidang ini, teristimewa program Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama, baik mencakup: (1) kerukunan intern masing-masing umat beragama, (2) kerukunan ekstern antar umat beragama yang berbeda-beda, dan (3) kerukunan dan keharmonisan hubungan antara umat beragama dengan pemerintah, sebagai satu kesatuan hidup sosial berbangsa dan bernegara.
3. Bentuk ungkapan konsepsi multikultural yang terkandung dalam kitab Veda pada dasarnya dilandasi suatu ‘paradigma’ teologis yang disebut Atma-Darsanah dan Sarwatra Sama-Darsanah. Pemahaman atas ‘paradigma’ tersebut dapat dirumuskan dalam beberapa aspek makna konsep, yaitu:
(a) Tat Tvam Asi (toleransi religius),
(b) Ahimsa Dharma (tanpa kekerasan),
(c) Samadarsitva (kesetaraan kemanusiaan), dan
(d) Sarva Dharma Samabhava (teologi pluralisme dan keharmonisan).
Keempat komponen makna konsep tersebut pada hakikatnya merupakan satu-kesatuan teologis-filosofis dalam usaha mewujudkan Jagaddhita (kebahagiaan duniawi) dan Moksa (kebahagian abadi).
4. Setelah memperhatikan ciri dan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk yang relatif rawan dengan berbagai konflik etno-religius, maka secara konsepsional perlu diupayakan pendekatan dalam penerapan konsep-konsep dan wawasan multikultural yang terkandung dalam Veda di atas. Beberapa pendekatan yang mungkin diupayakan, antara lain: (a) pendekatan teologis (teologi pluralis), (b) pendekatan kultural, (c) pendekatan sosial-politik, dan (d) pendekatan pendidikan pluralis-multikultural dan dialog lintas agama-budaya (cross cultural dan religion).
5. Pemahaman dan pembumian (internalisasi) baik secara internal (inculturation) maupun eksternal (enculturation) konsep-konsep dan wawasan pluralis-multikultural tersebut dalam konteks kemajemukan masyarakat Indonesia dapat ditempuh dengan program/sistem pendidikan pluralis-multikultural. Konsep-konsep, nilai-nilai dan pemikiran tersebut dapat dimasukkan sebagai muatan kurikuler, baik dalam jalur pendidikan keagamaan maupun pendidikan umum. Program pendidikan merupakan salah satu ruang yang sangat penting sebagai media inkulturasi dan enkulturasi konsep-konsep dimaksud secara mendasar. Melalui paradigma pendidikan pluralis-multikultural ini secara gradual sikap “animocity” antar etnis ataupun antar umat beragama memungkinkan diminimalisir sehingga berbagai bentuk konflik etno-religius dapat dihindarkan.
6. Upaya untuk memahami (verstehen) dan membumikan (internalisation) konsep-konsep, pemikiran dan wawasan multikultural, baik secara internal (inculturation) maupun eksternal (enkulturation)—dalam pandangan Hindutva—dapat ditempuh dengan pendekatan proses kreatif (tulis-menulis), yakni penciptaan karya-karya Sastra-Multikulturalis. Keberhasilan karya-karya Sastra-Multikulturalis sebagai media internalisasi konsepsi multikulturalisme dengan jelas dapat disimak dalam khazanah susastra Veda (Vedic literture), seperti dalam kitab Ramayana dan Mahabharata. Kedua karya sastra Veda tersebut relatif sarat muatan tentang ide/gagasan, konsep dan wawasan multikultural yang hingga kini masih tetap “mengakar” dan “membumi” baik di India maupun di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan kreatif karya-karya sastra-multikultural perlu terus didorong dan dikondisikan dalam berbagai kesempatan, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwimarta, Sri Sukesi, 1993, Unsur-Unsur Ajaran dalam Kakawin Parthayajna. Disertasi Doktor pada Program Pasca Sarjana, FSUI, Depok.
Ali, Muhamad, 2003, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas.
Budiman, Manneke, 2003, “Jatidiri Budaya dalam Masyarakat Multikultural.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tanggal 18—20 Desember.
Clifton, James A., 1968, Introduction to Cultural Anthropology. Boston: Hougton Mifflin Com.
Galtung, Johan, 2003, Studi Perdaamaian. Surabaya: Pustaka Eureka.
Irsan, Koesparmono, 2003, “Meredam Konflik dan Menjalin Islah di berbagai Daerah: Usaha Rekonsiliasi dan Penanggulangan Konflik serta Peran Perempuan di Dalamnya”. Dalam Jurnal Harmoni, Jakarta: Depag RI.
Johnson, David W. dan Roger T. Johnson, 2002, Multicultural Education and Human Relations Valuing Diversity. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon.
Koentjaraningrat, 1983, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
---------------------, 1985, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kymlicka, Will, 2002, Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES
Leirissa, R.Z., 2003, “Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Sejarah.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tanggal 18—20 Desember.
Lubis, Akhyar Yusuf, 2004, Filsafat Ilmu dan Metodelogi Posmodernis. Bogor: Akademia.
Mantra, Ida Bagus, 1993, Tata Susila Hindu Dharma. Jakarta: Hanuman Sakti.
Maswinara, I Wayan, 1997, Bhagawadgita. Surabaya: Paramita
Nasikun, 1984, Sistem Sosial Indonesia. Yogyakarta: UGM.
Pudja, D., 1984, Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta: Departemen Agama RI.
Soekanto, Soerdjono, 1985, Kamus Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soemardjan, Selo, dkk., 1974, Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fak. Ekonomi.
Stiehm, Judith, 1997, “Diversity’s Diversity”, dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism a Critical Reader. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.
Suparlan, Parsudi, 2003, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tanggal 18—20 Desember.
Suprayogo, Imam, dan Tobroni, 2001, Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tilaar, H.A.R., 2003, “Pendidikan dalam Multikulturalisme.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tagl. 18—20 Desember.
Titib, I Made, 1996, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Todorov, Tzvetan, 1968, Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
Wahjono, Parwatri, 1993, Hakikat dan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok Bagi Masyarakat Pendukungnya. Disertasi, FSUI, Depok.
Zoest, Art van, 1980, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Zoetmulder, P.J., 1995, Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[1] Lihat dalam Parsudi Suparlan, “Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 1.
[2] Manneke Budiman, “Jatidiri Budaya dalam Masyarakat Multikultual”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 2.
[3] Parsudi Suparlan, op.cit., hlm. 4.
[4] David W. Johnson dan Roger T. Johnson, Multicultural Education and Human Relations Valuing Diversity, 2002, hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 4.
[6] Menurut Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam hal mana masing-masing sub sistem terkait ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial (lihat Nasikun, 1984: 36).
[7] G. Pudja, Bhagavadgita, 1984, hlm. 156—157. Selengkapnya dapat disimak teks dan terjemahan Bhagavadgita, VI. Sloka 29—32.
[8] Koesparmono Irsan, 2003, “Meredam Konflik dan Menjalin Islah di berbagai Daerah: Usaha Rekonsiliasi dan Penanggulangan Konflik serta Peran Perempuan di Dalamnya”, dalam Jurnal Harmoni.
[9] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, 1984, hlm. 36.
[10] Kajian ini pada dasarnya merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study), yang lebih banyak didasarkan pada kajian isi teks. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini lebih terfokus pada rumusan tujuan butir (a), namun demikian tujuan pada butir (b) dan (c) tetap diusahakan berdasarkan bahan yang relatif terbatas. Kajian ini sesungguhnya merupakan bagian dari kerja penelitian yang sedang penulis tentang “Persepsi dan Pola Kehidupan Pluralis-Multikultural dalam Dinamika Sosio-Religius Masyarakat Desa Pagayaman, Buleleng” (Oktober 2005).
[11] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 1985, hlm. 5.
[12] Lihat dalam James A. Clifton, Introduction to Cultural Anthropology, 1968, hlm. 35.
[13] Lihat Parwatri Wahjono, 1993, “Hakikat dan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok Bagi Masyarakat Pendukungnya,” Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana, FSUI, Depok.
[14] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 144.
[15] Ibid., hlm. 145.
[16] Ibid., hlm. 149
[17] Judith Stiehm, “Diversity’s Diversity”, dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism a Critical Reader, 1997, hlm. 140—156.
[18] Will Kymlicka, Kewarganegaraan Multikultural, 2002, hlm. 34.
[19] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 1983, hlm. 267.
[20] Lihat Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, 1980, hlm. 5
[21] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, 2004, hlm. 103.
[22] Lihat Poespoprodjo dalam Adiwimarta, Unsur-Unsur Ajaran dalam Kakawin Parthayajna, 1993, hlm. 14.
[23] Lihat Susabda dalam Akhyar Yusuf Lubis, op. cit., hlm. 105.
[24] Akhyar Yusuf Lubis, op. cit., 2004, hlm. 104.
[25] Lihat Tzvetan Todorov, Tata Sastra, 1985, hlm. 12.
[26] G. Pudja, Bhagavadgita (Pancama Veda), 1984, hlm. 156—157.
[27] I Made Titib, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, 19961, hlm. 381.
[28] Ibid., hlm. 349.
[29] G. Pudja, op.cit., 1984, hlm. 103—104 dan 181.
[30] Johan Galtung, Studi Perdamaian, 2003, hlm.55.
[31] I Made Titib, op. cit., hlm. 374.
[32] I Made Titib, op. cit. hlm. 309.
[33] R.Z. Leirissa, “Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Sejarah”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 4.
[34]Lihat H.A.R.Tilaar, “Pendidikan dalam Multikulturalisme”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 16.
[35] Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, 2003, hlm. 102.
[36] G. Pudja, op. cit., hlm. 145.
WAWASAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDU
Oleh: I Made Suparta (FIB UI)
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Multikultural merupakan suatu cara pandang dan wawasan berpikir (paradigma) yang relatif “baru” dalam wacana ilmu pengetahuan sosial dan budaya (humaniora), terutama pasca pemikiran liberalisme dalam bidang ilmu politik. Multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan derasanya perubahan sosial-budaya yang dihadapi oleh umat manusia khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan. Fay[1] mengemukakan, bahwa multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme seharusnya tidak dipahami semata-mata sebagai sekumpulan perbedaan belaka yang dapat dijumlahkan dan disatu-satukan secara kuantitatif, tetapi sebaliknya multikulturalisme adalah sebuah kualitas (dan bukan entitas), yang secara mutlak mensyaratkan adanya, empati, solidaritas dan keadilan sosial.[2] Oleh karena itu, multikulturalisme pada dasarnya bukan sekadar wacana tetapi ideologi yang harus diperjuangkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatanya. Akan tetapi, sebagai sebuah ideologi multikulturalisme tidak dapat berdiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya; sebaliknya, multikulturalisme justru membutuhkan seperangkat bangunan konsep-konsep untuk memahaminya.
Menurut Fay berbagai konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme, antara lain: demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa dan kesukubangsaan, kebudayaan etnik, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. Berkaitan dengan konsep-konsep tersebut—paling tidak—ada tiga faktor yang mendorong berkembang-luasnya wacana pemikiran multikulturalisme, yaitu: (a) HAM (Universal Declaration of Human Rights yang diprakarsai oleh PBB pada tahun 1948), (b) globalisme, dan (c) proses demokratisasi.[3]
Menurut pandangan David W. Johnson dan Roger T. Johnson, pemahaman multikulturalisme pada tataran pertama-tama adalah pemahaman budaya.[4] Hal ini dapat disimak pada kutipan berikut,
“To unserdstand multiculturalism, it is first necessary to understand culture. There are hundreds of definitions of the term culture, but generally culture is a shared way of life for a group of socially interacting people. Culture is transmitted from generation to generation by the processes of enculturation and socialization and continues to exist as long as members are committted to continuing. (...) Every person has mutiple cultural identities—nationality, ethnicity, religion, gender, and so forth. Every person is thus multicultural. These identities are dynamic, always change, adapting to changes in invironmental circumstances and group asscociations.”
Pada kenyataannya kehidupan semua umat manusia adalah multikultural, akan tetapi tidak berarti bahwa semua kebudayan merupakan perncampuran belaka. Lebih jauh David W. Johnson dan Roger T. Johnson[5] mengemukakan, “Multicultural individuals are people have internalized several cultures, which the coexist inside them. Many multicultural individuals report that the internalized cultures take turns in guiding their thoughts and feelings.”
Pandangan di atas relatif selaras dengan kehidupan sosio-kultural dan keagaman masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk (plural society),[6] yang secara historis un sich dalam perkembangan masyarakat tersebut sejak berabad silam. Budaya masyarakat Indonesia yang terwarisi hingga kini merupakan ‘persemaian’ (seedlings) berbagai sistem nilai budaya, baik yang bersumber dari nilai-nilai budaya etnik maupun nilai budaya asing yang di-immport dari ‘luar’. Meskipun demikian, secara ontologis budaya masyarakat Indonesia tetap mempunyai ciri-ciri yang otentik (ciri yang bersifat indegenius) yang dapat dikenali dan diartikulasikan di tengah pembauran lintas budaya dalam kehidupan masyarakat pluralis-multikultural tersebut.
Berkenaan dengan pandangan dan pemikiran di atas, upaya pemahaman (verstehen) dan pembumian wawasan multikultural dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat penting, baik secara internal (inkulturasi) maupun eksternal (enkulturasi). Karena pemahaman wawasan dan kesadaran multikultural pada prinsipnya merupakan salah satu konsep dasar yang dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan kehidupan sosio-religius yang rukun dan damai, tan adanya kekerasan, teristimewa dengan realita masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnik, multilingual, dan multireligius .
Kajian ini berusaha untuk mengungkapkan dan memahami konsep-konsep dan pemikiran Hindu (Veda) yang terkait dengan cara pandang dan ‘paradigma’ multikulturalis, dan mencoba mengemukakan beberapa pokok pikiran dalam upaya membumikannya secara internal dan eksternal. Konsep dasar dan ‘paradigma’ pluralis-multikultural terkandung dalam kitab suci Veda, antara lain dapat disimak pada ungkapan: Tat Tvam Asi, Ahimsa Dharma, Samadarsitva, dan Sarva Dharma Smabhava, yang secara filosofis didasari oleh ‘cara pandang’ Atma-darsanah dan Sama-darsanah.[7] Oleh karena itu, pemahaman dan pembumian wawasan multikultural bukan sekadar untuk mewujudkan kehidupan yang rukun, damai, dan sejahtera secara duniawiah (Jagaddhita), bahkan yang paling penting adalah untuk mengkondisikan (conditioning) dan atau me-rekondisikan (reconditioning) kedamaian (Śantih, ‘kedamaian, harmoni’) dan kebahagiaan abadi (Moksa).
Dari segi teologis-filosofis konsep dasar dan ‘paradigma’ pluralis-multikultural Hindu (Veda) berupaya membentuk pribadi manusia yang utuh, yakni sebagai insan beragama ber-Ketuhan-an sekaligus juga beradab (civilized) dan berkemanusiaan (humanized). Oleh karena itu, pemahaman wawasan multikultural merupakan conditio sine qua non bagi seluruh umat manusia (teristimewa sebagai insan beragama) dalam mewujudkan kerukunan (Krêta), kedamaian (Śanti) dan kebahagiaan duniawi (Jagaddhita ), dan kebahagiaan abadi di akhirat (Moksa).
Kajian pemahaman dan pembumian wawasan multikultural pada dasarnya relatif kontekstual dikaitkan dengan segi budaya politik-hukum, gerakan demokrasi dan HAM di satu pihak, dan realitas kehidpan keagamaan masyarakat Indonesia di pihak lain. Dalam dasa warsa terakhir ini, terutama ketika kita memasuki millenium ketiga ini, dibalik kemajuan gerakan demokrasi dan reformasi ternyata kehidupan umat beragama di seluruh dunia dikejutkan oleh gerakan terorisme internasional yang telah mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan, yakni peristiwa bom (bunuh diri) WTC pada tanggal 11 September 2001 dan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Secara semiotis kedua peristiwa tersebut menjadi sebuah ‘ironi’, merupakan “tanda” bahwa dalam gerak maju peradaban dunia konflik-konflik, baik konflik yang bersifat ideologis (agama, ras, etnis) ataupun bersifat politis (kekuasaan) merupakan realita yang tidak terhindarkan. Sekretaris Jendral PBB, Boutros Boutros Ghali dalam tulisannya yang berjudul “Supplement to an Agenda for Peace” (3 Januari 1995), menyatakan, bahwa dengan berakhirnya “Perang Dingin” maka tumbuh konflik baru yang memiliki ciri-ciri yang berlainan dengan apa yang dikenal selama “Perang Dingin” waktu lalu. Sebagian besar dari konflik itu berlangsung dalam satu negara (inter-state); dan sebagain dari konflik-konflik itu didasarkan atas konflik keagamaan dan etnis.[8]
Menguatnya fenomena militansi, otentisitas, ekslusivitas keagamaan terutama sejak dasa warsa 1990-an hingga awal millenium ketiga ini, sebagaimana dirasakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ternyata kontra-produktif dengan upaya-upaya kondusif untuk menumbuhkan kehidupan yang demokratis, rukun dan damai serta humanis-religius, sehingga muncul krtitik sosial bahwa kehidupan pluralis-multikultural masih dalam tataran wacana belaka. Sebab dalam kehidupan nyata umat beragama (dasein) berbagai konflik, kerusuhan dan kekerasan bernuasa etno-religius sangat memperihatinkan, seperti peristiwa Poso, Ambon , dan daerah-daerah konflik lainnya.
Berbagai fenomena kerusuhan etno-religius telah menimbulkan munculnya kritik yang tajam terhadap agama sebagai sistem kepercayaan dan sikap/pola perilaku, karena agama dianggap telah gagal dalam melakukan peran sosialnya. Para ahli sosiologi menyimpulkan bahwa secara sosial agama tampil ke permukaan dengan wajah ganda (bersifat ambivalen). Di satu sisi, agama merupakan kekuatan konstruktif untuk menumbuhkan keteraturan sosial (harmony) dan perdamaian atau peran integrasi sosial; akan tetapi di sisi lain, agama juga tampil sebagai kekuatan destruktif yang memicu terjadi perang dan revolusi.
Dalam kaitan ini, Pierre L. Van den Berghe[9] mengemukakan bahwa masyarakat majemuk mempunyai beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar, yaitu: (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain, (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer, (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, (4) secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di anatara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain
Dari keenam ciri-ciri dasar dari Berghe, rupanya ciri pada butir (4), (5), dan (6) secara mencolok “mewarnai” dinamika sosio-religius kemajemukan masyarakat Indonesia. Di satu pihak pluralitas agama-etnik-budaya tersebut merupakan anugrah dan aset yang tak ternilai, tetapi di pihak lain, juga dapat menjadi sumber konflik dan “bencana” kemanusiaan apabila tidak diciptakan suatu sistem dan pendekatan yang tepat atau elegan. Oleh karenu itu, kajian pemahaman dan pembumian wawasan multikultural dalam masyarakat Indonesia dilihat dari perspektif Hindu sangat menarik dilakukan dalam usaha menggali dan mengungkapkan konsep-konsep Hindutva yang relevan dalam upaya menumbuhkan saling pengertian secara cross-religions (cultural), serta memperluas wawasan pemikiran keagamaan pluralis-multikultural.
1.2 Pokok Permasalahan
Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian awal ini adalah ungkapan ajaran dan konsep-konsep tentang multikultural yang terkandung dalam kitab suci Veda dan segala cabang-cabangnya. Kajian terhadap masalah tersebut secara spesifik dapat disimak dalam rumusan permasalahan berikut ini:
a. Bagaimana bentuk ungkapan konsep multikultural yang terkandung dalam kitab suci Veda dan bagaimana cara pemahaman (verstehen) terhadap konsep tersebut;
b. Bagaimana pola pembumian (inculturation dan enculturation) konsepsi dasar tersebut, baik dalam sistem sosio-religius masyarakat Hindu sebagai bagian dari proses integrasi sosial;
c. Apa kontribusi dan relevansi konsep-konsep pluralis-multikultural yang terkandung dalam kitab suci Veda dalam konteks kehidupan antar-umat beragama, berbangsa dan bernegara.
1.3 Tujuan Penelitian[10]
Tujuan kajian terhadap pokok permasalahan di atas sebagaimana dinyatakan dalam ketiga rumusan masalah tersebut adalah:
a. Mengungkapkan konsep-konsep dasar pluralis-multikultural yang terdapat dalam kitab suci Veda sebagai susatu sistem nilai religius yang dipedomani oleh masyarakat Hindu hingga kini;
b. Mendapatkan gambaran tentang model atau pola internalisasi/enkulturalisasi konsepsi dasar yang terdapat dalam Veda berdasarkan pengalaman emperis dalam sistem sosial masyarakat Hindu, khususnya di Bali yang merupakan bagian dari proses integrasi sosial; dan,
c. Memperoleh suatu rumusan yang bersifat konsepsional sebagai suatu kontribusi langsung tentang upaya mendapatkan pemahaman multikultal dalam kehidupan masyarakat majemuk berdasarkan kitab-kitab Veda yang dipandang relevan dalam konteks kehidupan masyarakat pluralis-multikultural.
1.4 Konsep dan Landasan Teoritis
1.4.1 Konsep
Dari pemerian di atas dapat disimak suatu gambaran bahwa kajian terhadap masalah konsep dan wawasan multikultural dalam kehidupan umat beragama tidak dapat dilepaskan dengan tiga wujud kebudayaan manusia secara universal, yaitu berupa: (a) sistem ide/gagasan ajaran keagamaan, (b) sistem perilaku sosial keagamaan, dan (c) berupa artefak atau budaya materi (tangible).[11] Ajaran-ajaran keagamaan yang tersurat (tangible) dan tersirat (intangible) dalam teks-teks kitab suci, pada tataran supra-emperis merupakan sabda suci atau wahyu Tuhan. Akan tetapi, pada tataran emperis pembumian (internalisation dan enculturation) ajaran-ajaran suci tersebut dilakukan melalui media kebudayaan, seperti ditulis dalam sistem huruf tertentu sehingga konsep-konsep, ide/gagasan, ajaran-ajaran suci tersebut memperoleh wujudnya berupa artefak, yakni: kitab-kitab suci keagamaan yang dikenal hingga kini.
Terkait dengan pemahaman tersebut, dalam kajian ini perlu kiranya terlebih dahulu dijelaskan beberapa konsep sebagai bagian tak terpisahkan dari permasalahan di atas. Konsep dalam pandangan Anthony F.C. Wallace[12] diartikan dengan “mazeway” (‘jalinan cara’), dan mendefinisikan konsep sebagai,
“...the entire set of cognitive maps of positive and negative goals, of self, others, and material objects, and their dynamic interrelations in process, wich individual maintains at a given time.”
(Konsep adalah keseluruhan kerangka berpikir yang terpetakan atas tujuan positif dan negatif, diri sendiri, yang lainnya, dan objek material dan dalam proses interrelasi dinamis, di mana individu mempertahankan pada suatu waktu yang diberikan).
Menurut Koentjaraningrat, konsep adalah gambaran umum yang abstrak dalam pikiran, mengenai asas suatu hal, masalah, kejadian atau sekumpulan benda; atau seperti yang dikatakan Vredenbregt, bahwa konsep adalah suatu istilah yang secara generalisasi mempersoalkan observasi yang kongkret. [13] Adapun konsep-konsep terkait yang digunakan dalam kajian dan analisis masalah di atas, antara lain:
a. Konsep Agama, Religi, dan Kepercayaan
Penggunaan istilah agama dan religi secara awam sering mrngalami kerancuan, padahal antara kedua istilah tersebut mengandung pendekatan yang berbeda. Menurut Koentjaraningrat, religi merupakan bagian dari kebudayaan karena memiliki makna lebih netral; dan ia menghindari menggunakan istilah “agama”, meskipun ada pandangan yang mengatakan bahwa sistem religi tertentu merupakan agama hanya bagi penganutnya. Misalnya, sistem religi Islam merupakan agama bagi umat Islam, atau sistem religi Hindu Dharma adalah suatu agama bagi umat Hindu.[14]
Di samping itu ada juga pandangan yang mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara, misalnya di Indonesia diakui lima agama secara resmi, yaitu: Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan. Jadi istilah agama penggunaannya bersifat formalistik dan politis (sesuai dengan pandangan dan aturan negara terhadap hal ini). Oleh karena itu, Koentjaraningrat condong menggunakan istilah “agama” dalam konteks yang kedua ini, sebab religi adalah bagian dari kebuayaan sesuai dengan konsep yang dikemukakan E. Durkheim dalam bukunya yang berjudul, “Les Formes Élémentaires de la Vie Réligieuse” (1912).[15] Tiap religi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen, yaitu: (1) Emosi keagamaan, (2) Sistem keyakinan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta segala nilai, norma, dan ajaran religi bersangkutan, (3) Sistem ritus dan upacara sebagai cara berhubungan dengan Tuhan, dan (4) Umat atau kesatuan sosial-keagamaan yang melaksanakan butir (2) dan (3) di atas.
Akan tetapi, berbeda halnya dengan kepercayaan yang sering digunakan bersandingan dengan istilah agama. Menurut Koentjaraningrat, istilah kepercayaan digunakan untuk menyebut semua sistem (keyakinan kepada Tuhan) yang berada di luar kategori agama yang secara resmi diakui oleh negara kita. Terkait dengan konsep religi di atas, maka kepercayaan mempunyai arti yang khas, yakni komponen (2) dalam konsep Durkheim, yang terdapat dalam tiap agama maupun religi.[16]
b. Konsep Pluralisme Kultural, Suku-Bangsa (Etnik) dan Ras
Keberagaman (diversity, diversitiveness) yang membentuk entitas plural pada dasarnya merupakan valensi positif yang diderivasikan dari analogi pernyataan biologis (biologist’ argument), dan kemudian menjadi wacana yang sangat penting untuk pemertahanan “gene pool” terbesar dari suatu masyarakat, yakni: (a) future-oriented, dan (2) argues a social benefit.[17] Karena sejak dilahirkan manusia an sich telah mempunyai ciri-ciri dasar yang berbeda. Dalam pandangan Hindu, perbedaan dasariah an sich yang dibawa dan built in sejak lahir tersebut merupakan konsekuensi logis konsepsi teologis-filosofis yang disebut karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi).
Kemajemukan atau keberagaman sosial dan kultural merupakan suatu kenyataan atau realitas, bahwa setiap manusia menghormati hak-hak untuk berbeda dengan yang lain (the right of culture diversity). Kesanggupan setiap individu untuk merepresentasikan the right of culturediversity ini, secara kultural di satu sisi pada dasarnya adalah ungkupan kesadaran plural (entitas plural), dan secara politis di pihak lain merupakan ungkapan hak azasi manusia. Selain itu, ungkapan tersebut juga merupakan bagian dari raison d’être[18] (alasan hidup) untuk mempertahankan diri sendiri sebagai masyarakat yang berbeda.
Dalam kehidupan masyarakat kita, sebagai sebuah nation-state secara politis dan konseptual Pancasila dengan motto: “Bhinneka Tunggal Ika” menjamin kebebasan setiap warganya untuk menyatakan the right of culture diversity termasuk dalam memeluk agama dan atau kepercayaan tertentu. Dalam kosepsi kesadaran plural ini yang ada ialah suatu keharusan dari setiap komunitas untuk menghormati hak-hak atas keanekaan budaya dan hak-hak untuk hidup berbeda sesuai dengan budayanya sendiri. Dengan demikian, multikulturalisme merupakan suatu pengakuan atas hak hidup dari budaya-budaya lokal dan oleh sebab itu wajib dihormati, karena multikulturalisme mengahuruskan adanya dialog dengan budaya-budaya yang lain, yang “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan budaya-budaya yang lain, yakni beribu jenis budaya etnik yang tersebar di berbagai pelosok persada Indonesia.
Makna konsep yang tercakup dalam istilah “suku-bangsa” (ethnic group) adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tersebut seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Sifat kesatuan dari suatu suku-bangsa bukan sifat kesatuan “kelompok”, melainkan sifat kesatuan “golongan”. Sementara ras adalah suatu kelompok orang yang agak berbeda dengan orang lain dalam segi ciri-ciri fisik bawaan. Secara etimologis ras berarti ‘golongan manusia yang jelas sekali memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya, tidak peduli bahasa dan adat. Pada dasarnya ada tiga ras pokok manusia di dunia ini, yaitu: Eropid, Negreda, dan Mongol. Dalam satu ras akan terdapat bermacam-macam suku-bangsa, bahasa dan kebudayaan.[19]
1.4.2 Landasan Teori
Kajian dalam penelitian ini pada dasarnya bertitik tolak dari sumber tertulis yang berupa teks-teks suci keagamaan sebagaimana terdapat dalam kitab Veda dan cabang-cabangnya yang berupa susastra Veda (Vedic literature). Dalam teks-teks suci keagamaan tersebut, baik secara tersurat (tagible) maupun tersirat (intangible) terkandung bermacam-macam nilai, norma, atau ajaran-ajaran religius Hinduisme yang masih dijadikan acuan dan pedoman dalam pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat Hindu di Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Hindu-Bali pada khususnya.
Unsur-unsur nilai, norma-norma, atau ajaran-ajaran keagamaan yang terkandung di dalam teks-teks suci itu secara struktural terbentuk dan tersusun dalam satu kesatuan tekstual berupa tanda-tanda kebahasaan. Sebagai suatu sistem tanda kebahasaan teks-teks suci keagamaan terbut juga merupakan bagian dari sistem tanda kebudayaan. Dalam hal ini teks dipahami sebagai sistem tanda bahasa, akan tetapi pengertian teks sesungguhnya lebih luas daripada sekadar kalimat di dalam halaman buku,[20] tetapi teks dapat meliputi segala bentuk representasi dalam konteks kebudayaan manusia.
Dalam usaha memahami makna teks-teks suci keagamaan tersebut, seorang pembaca dituntut memiliki kesanggupan untuk melakukan pembedahan dan interpretasi terhadap sistem tanda-tanda tekstual yang membungkusnya. Untuk melakukan penafsiran ke arah pemahaman (verstehen) isi teks-teks suci Veda, Bhagavadgita, Sarasamuccaya, dan teks susastra Veda lainnya, terutama untuk mengungkapkan unsur makna yang berkaitan dengan konsepsi kerukunan hidup umat beragama, digunakan teori hermeneutik.
Istilah hermeneutik atau hermeneutika secara etimologis berasal dari kata ‘hermeneuin’ yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna, seni interpretasi (the art of interpretation). Secara singkat hermeneutika dapat didefinisikan dalam enam bentuk yang berbeda, yaitu: (1) teori eksegenesis Bibel, (2) metode filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fundasi metodologis Geisteswissenchaften, (5) fenomenologi eksistensial, dan (6) sistem interpretasi yang digunakan untuk meraih makna di balik simbol-simbol dan mitos.[21]
Hermeneutik merupakan hasil pemikiran Friederich Schleiermacher (1768—1834), ahli teologi dan juga ahli filologi klasik dari Jerman. Ia berasumsi bahwa jika orang memahami sesuatu, hal itu terjadi dengan analogi, yakni dengan jalan membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Yang diketahui itu membentuk kesatuan-kesatuan yang bersistem atau juga membentuk lingkaran-lingkaran yang terdiri atas bagian-bagian. Lingkaran tersebut sebagai satu keseluruhan menentukan arti masing-masing bagian, dan bagian-bagian itu secara bersama-sama membentuk lingkaran. Lingkaran inilah yang disebutnya lingkaran hermeneutik. [22]
Schleiermacher menggunakan hermeneutika sebagai metode untuk menjawab pertanyaan sekitar validitas catatan-catatan sejarah dan Al-Kitab, penjelasan tentang realitas dan fenomena alam, tentang otoritas agama untuk mengatur kehidupan, tentang keabsahan klaim-klaim agama untuk kemurnian wahyu yang mereka terima di tengah pluralitas agama di dunia. Pertanyaan yang paling mendasar bagi Schleiermacher adalah, “Apakah umat Kristen masih dapat mempertahankan imannya atas Allah, di tengah-tengah zaman di mana manusia lebih mempercayai hasil observasi-eksperimen ilmiah daripada iman dan kepercayaan pada hal-hal metafisika yang spekulatif?”[23]
Pemikiran Schleiermacher tentang hermeneutika itu digarap lebih lanjut oleh W. Dilthey (1833—1911) ahli filsafat (juga dari Jerman), yang melihat hermeneutika sebagai metode ilmu sosial dan humaniora, yaitu semua studi yang menafsirkan ekspresi kehidupan kejiwaan manusia, seperti hukum tertulis, karya seni, termasuk teks-teks suci keagamaan. Sejalan dengan Schleiermacher, Dilthey juga berpendapat bahwa kegiatan pemahaman (verstehen) berlangsung di dalam prinsip lingkaran hermenutik, dan terkait dengan konteks sejarah. Menurutnya metode verstehen dapat mengungkapkan kebenaran obyektif jika terpenuhi tiga syarat, yaitu: (1) perhatian, minat yang mendorong penelitian yang benar-benar murni, (2) obyek studi, yaitu ungkapan dalam kehidupan manusia telah “baku” atau “tetap” selama masa yang panjang, sehingga wujud benar-benar sesuai dengan bentuk aslinya, dan (3) proses interpretasi sesuai dengan interpretasi yang sudah baku untuk “menciptakan kembali” obyek studi dalam diri ilmuan sendiri berdasarkan perasaan empati terhadap sesama manusia.
Dengan demikian, hermeneutika tidak saja digunakan sebagai metode untuk menafsirkan teks kitab suci, akan tetapi berkembang sebagai metode penafsiran teks dalam pengertian luas, seperti: tanda, simbol, ritual keagamaan, karya seni, karya sastra, sejarah, psikologi (psikoanalisa) dan lain-lain. Jadi hermeneutika adalah “pisau” analisis tentang segala sesuatu yang mengandung makna equivocal dan bukan menjelaskan makna simbol univocal (simbol logika dan matematika) di mana satu simbol hanya memiliki satu makna yang jelas.
1.5 Metodologi Penelitian
Berdasarkan pemerian di atas dapat dipahami bahwa sumber data yang digunakan dalam kajian ini pada dasarnya berupa teks-teks suci keagamaan yang terdapat dalam kitab Veda dan susastra Veda, yang hampir semuanya berupa buku terbitan yang berisi teks dan terjemahannya. Dari ciri dan sifat data tersebut, maka metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode kepustakaan (library research), yakni mendasarkan pengumpulan dan pemerolehan data yang berupa data-data tekstual yang diambil dari sumber kepustakaan yang digunakan, yaitu: bagian-bagian kitab suci Veda, Bhagavadgita, Sarasamuccaya, dan karya-karya yang termasuk dalam susastra Veda.
Data-data tekstual yang dikumpulkan melalui proses membaca secara close reading selanjutnya dipilah dan dikelompokan ke dalam pokok-pokok yang berkaitan dengan konsepsi dasar kerukunan hidup umat beragama. Dari sekumpuulan data-data tekstual yang tersedia, dilanjutkan dengan analisis isi (content analysis) dan interpretasi makna dengan menerapkan teori hermeneutik seperti dijelaskan di atas. Hasil dari analisis atas ungkapan-ungkapan konsep kerukunan hidup umat beragama yang terkandung dalam teks-teks suci Veda tersebut, selanjutnya dituangkan uraian secara deskriptif.
2. MEMAHAMI KONSEP–KONSEP MULTIKULTURAL
DALAM KITAB SUCI VEDA
2.1 Tataran Makna Multikultural dan Hermeneutika
Pemahaman dan pemaknaan “konsep multikultural” dalam konteks hidup umat beragama menjadi relatif, inter-subyektif, dan kondisional. Tingkat relativitas pemahaman yang bervariasi itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari kualitas “multikultur” yang secara ontologis dicerap dalam sistem kognitif kita, tidak mudah diukur dalam suatu interval matematis. Istilah “multikulturalisme” merupakan ideologi yang bersifat abstrak dan secara sintak-semiotis digunakan untuk menandai “suatu makna konsep tentang pola pemikiran, kesadaran, sikap dan pola perilaku kehidupan umat beragama yang pada hakikatnya adalah masyarakat majemuk (plural society), tetapi hidup dalam keadaan atau suasana harmonis saling menghargai dalam segala kualitas perbedaan budaya-agama.”
Untuk membantu memahami dam memaknai konsep multikultural tersebut, secara teoretis hermeneutika mengajukan tiga tataran analitis teks, yaitu: (1) tingkat pertama disebut litera yang berhubungan dengan gramatikal teks, (2) tingkat kedua disebut sensus yang berhubungan dengan cara pemaknaan secara harfiah dan naratif, dan (3) tingkat ketiga bertemunya litera dan sensus yang membentuk cortex luar dari teks.[24] Model ini jika dikaitkan dengan cara pemahaman Todorov,[25] maka pemaknaan tingkat (1) dan (2) disebut tahap sintak-semiotik atas makna gramatikal teks (in praesentia), kemudian pada pemaknaan tingkat (3) di atas disebut tahap semantik-semiotik (in absentia).
Interpretasi dan pemaknaan (verstehen) ungkapan konsep-konsep “multukultural” yang terkandung dalam teks-teks suci Veda dalam ketiga tataran: litera-sensus-cortex juga ditopang oleh pemahaman secara isotopi (dilihat dari ‘medan makna leksikal’). Berdasarkan pemahaman di atas, “multikulturalisme” Hindu yang merupakan landasan untuk mengkondisikan “kerukunan” (Jagaddhita atau Krêta) dan kedamaian (Santih) dalam konsep Hindutva, secara isotopis mengandung beberapa kategori (aspek) medan-makna sebagai berikut:
(1) Toleransi (Tat Tvam Asi),
(2) Kedamaian atau tanpa tindak kekerasan (Ahimsa Dharma)
(3) Kesetaraan kemanusiaan (Samadarsitva), dan
(4) Tegaknya nilai-nilai dharma sebagai dasar pluralisme dan keharmonisan (Sarva dharma samabhava).”
Keempat kategori isotopi makna di atas untuk selanjutnya diacu sebagai dasar pemahaman ungkapan “multikulturalisme”. Konsepsi tersebut dalam ‘paradigma’ Hindutva disebut Atma-Darsanah dan Sarwatra Sama-Darsanah. Pembahasan tentang konsep-konsep di atas yang tersirat dalam teks-teks suci keagamaan terutama kitab-kitab Veda dapat disimak dalam uraian selanjutnya.
2.2 Memahami ‘Paradigma’ Pluralis-Multikultural dalam Veda
Dalam kitab Bhagavadgita[26] VI. 29—32 yang merupakan Pancama-Veda secara tersirat (implisit) dapat disimak tentang konsepsi ‘paradigma’ pluralis-multikultural. Paradigma tersebut secara teologis-filosofis mendasarkan cara pandangnya pada “Atma” (percikan sinar suci Brahman/Tuhan) yang menyebabkan makhluk itu hidup, sehingga hal ini disebut Atma-darsanah.
Berdasarkan anasir Atma tersebut, maka paradigma ini memandang dan beranggapan bahwa semua makhluk hidup itu secara teologis (in absentia) adalag sama, hanya wadag-fisiknya (in presentia) saja yang berbeda. Ungkapan paradigma pluralis-multikultural tersebut dapat disimak dalam beberapa sloka berikut.
Sarvaklitastham atmanam
sarvabhutani ‘tmani,
iksate yogayuktatma
sarvatra samadarsanah (Bg.VI.29)
Yo mam pasyati sarvatra
sarvam ca mayi pasyati,
tasya’ham na pranasyami
sa ca me na pranasyati (Bg. VI.30)
Atmaupamyena sarvatra
Samam pasyati yo’Arjuna,
Sukham va yadi duhkham
Sa yogi paramo matah (Bg.VI.32)
Terjemahannya:
Dia yang melihat Atma ada pada semua insan, dan semua insan ada pada Atman, di mana-mana ia melihat sang sama, adalah dia yang jiwanya terkendalikan dalam yoga.
Dia yang melihat Aku di mana-mana, dan melihat segalanya ada pada-Ku, Aku tidak bisa lepas dari padanya, dan dia juga tidak bisa lepas dari pada-Ku.
Yogi yang dianggap tertinggi adalah Ia yang melihat di mana-mana sama, Atman itu sebagai atmanya sendiri, O Arjuna, baik dalam suka maupun dalam duka.
Dari ketiga buah Sloka di atas, dengan jelas dapat dipahami tentang konsep ‘paradigma’ pluralis-multikultural Hindu (Veda). Apabila cara pandang atau sudut pandang itu diarahkan “ke dalam” (in absentia) yakni tertuju pada Atma (Atma-darsanah), maka secara otomatis sudut pandang yang memancar “ke luar” adalag “Sarvatra Sama-Darsanah”, yakni berpandangan sama dan sederajat pada sesama manusia, bahkan memandang “sama” pada sesama makhluk hidup yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Dengan demikian, ‘paradigma’ multikultural Hindu pada dasarnya dilandasi konsep “esensialisme” yang melihat hakikat entitas jiwa-Atma (yang in absentia) sebagai lebih tinggi dari sekadar realita yang terrepresentasikan berupa wadag-fisik (in presentia). Oleh karena kebhinekaan dan kemajemukan berasal dari Brahman selaku Sang Pencipta, maka niscaya mempunai hakikatnya yang sama dengan yang Tunggal. Konsepsi inilah yang mendasari semua ungkapan aspek-aspek multikultural yang terkandung dalam Veda dan susastra Veda.
2.3 Ungkapan Aspek-Aspek Konsep Multikultural dalam Veda
2.3.1 Tat Tvam Asi (Toleransi Religius)
Tat Tvam Asi merupakan suatu formula moral-religius yang merefleksikan pandangan advaistik (doktrin monistis) dari filsafat Vedanta. Pada tataran litera dan sensus, ungkapan etik Tat Tvam Asi sebagai satu aspek dari konsep “kerukunan” bermakna bahwa “Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Aku adalah Dia”, dan seterusnya. Akan tetapi makna tersebut relatif abstrak bagi masyarakat pada umumnya, jika hanya pata tataran tersebut. Oleh karena itu, makna ajaran etik dalam ungkapan tersebut baru dapat dipahami dengan tepat setelah membentuk cortex, sebagaimana dapat disimak dalam wacana naratif-filosofis yang terdapat di dalam kitab Chadogya Upanisad. Ungkapan ajaran moral-religius Tat Tvam Asi ini dalam kitab Candogya Upanisad 6, 7, 8 disebutkan dengancara sebagai berikut:
“Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu; semua makhluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwātma) dan zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwātmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwātma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engaku; aku adalah Brahma” (Mantra, 1993: 10).
Makna ajaran Tat Tvam Asi tersebut dapat dipahami oleh pembaca setelah membetuk cortex berupa dialog filosofis-teologis-religius antara Rsi Uddalaka Aruni dengan putranya yang bernama Svetaketu yang terus bertanya secara skeptis. Rsi Uddalaka pun menjelaskannya dengan analogi-analogi secara bertingkat-tingkat (seperti dalam cerita berbingkai); dan analogi merupakan dasar verstehen yang efektif dalam model hermeneutik.
Berkenaan dengan ungkapan di atas, dalam Svetasvatara Upanisad VI.11 juga diungkapkan sebagai berikut:
“Eko devas sarva bhūtesu gūdhas
sarva vyāpī sarva bhūtāntarātmā
karmādhyaksas sarva bhūtādivāsas
sāksi cetā kevalo nirgunaśca”
Terjemahannya:
“Tuhan Yang Mahaesa yang tersembunyi pada setiap makhluk, ada di mana-mana, Atman dari semua makhluk, memerintah semua tindakan, berada dalam setiap ciptaan dan menjadi saksi abadi tanpa memiliki sifat apapun”.
Konsep/nilai ajaran Tat Twam Asi juga merupakan dasar kesadaran eksistensialisme Hindu tentang ‘aku’ dan ‘engkau’ serta ‘dia’ (tentang relaitas ‘diluar-aku’) dalam satu-kesatuan kosmis; dan sesungguhnya hal ini adalah suatu bentuk “kesadaran-Atma”, semacam “meta-kognisi” yang mennyentuh esensi suatu realitas inderawi. Lebih jauh, bentuk “kesadaran-Atman” senantiasa menempatkan dirinya dalam interaksi-dialektis; hal ini juga diungkapkan dalam kitab Chanakya Arthasastra XII.15 yaitu sebagai berikut:
“Paro’pakaranam yesam jagarti hrdayah satam,
nasyanti vipadaśtesam sampadah syuh pade pade.”
Terjemahannya:
“Dia yang selalu melindungi dan memikirkan kepentingan makhluk lain, segala kesulitannya akan musnah dan selalu beruntung dalam setiap langkahnya.”
Dari ungkapan tersebut patut dipahami bahwa hakikat “kesadaran-Atman” yang mengejawantah dalam setiap wujud makhluk hidup yang terepresentasi dalam rumusan Tat Tvam Asi adalah landasan yang membentuk kesadaran humanisme-religius Hindu secara universal. Melaui hidup dengan “kesadaran-Atma” seseorang dpat melakukan pengendalian atas nafsu-nafsu inderawi yang bersifat kontra produktif dengan usaha mewujudkan kerukunan umat beragama; dan hal ini sekaligus sebagai dasar sikap etik Ahimsa Dharma (non-violance) yang diuraikan selanjutnya.
2.3.2 Ahimsa Dharma (Tanpa Kekerasan dan Kedamaian)
Ahimsa Dharma dan Tat Twam Asi pada dasarnya merupakan dua konsep moral yang dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang, karena tidak dapat saling dipisahkan. Kedua ajaran moral yang merupakan landasan “kerukunan” hidup beragama ini pada tahap yang paling awal dimulai dari pemahaman nilai dan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu: berpikir benar-berkata benar-berperilaku benar. Pemahaman akan kedua dasar moral ini merupakan conditio sine qua non (prasyarat mutlak) yang mengarah ke upaya membangun kerukuan hidup umat beragama. Jika ketiga aspek tersebut tidak berjalan secara linier di lapangan, maka seorang manusia terpelajar itu akan terjebak dalam hipokrisi atau kemunafikan. Oleh karena itu, aplikasi ajaran Tri Kaya Parisudha dalam pendidikan agama menjadi esensial dalam upaya mewujudkan masyarakat pluralis-multikultural.
Dalam kedua konsep di atas terkandung pengertian simpati dan empati secara humanis-religius. Dalam Bhagavadgita X.5 disebutkan:
Ahimsā samatā tustis tapo dānam yaśo`yasah,
Bhavanti bhāvā bhutānām matta eva prthag-vidhāh
Terjemahannya:
“Tanpa kekerasan, keseimbangan pikiran, kepuasan, kesederhanaan, amal sedekah, kemasyuran dan kehinaan, semuanya ini adalah keadaan dari makhluk yang hanya berasal dari Aku saja.”
Sloka di atas memahamkan bahwa seorang terpelajar di bidang keagamaan (mengaku beragama) tidak dibenarkan melakukan kekerasan atau tindakan himsakarma (membenci, menyakiti, menyiksa, atau membunuh) sesama insan atau makhluk lain. Dalam Yajurveda XL.6 juga disebutkan:
Yatsu sarvāni bhūtāny ātmāny evanupasyati,
Sarva bhūtesu cātmānam tato na vi cikitsati.
Terjemahannya:
“Tetapi seseorang yang telah melihat Dia (Atman) ada pada setiap makhluk dan kemudian melihat semua makhluk ada pada-Nya, ia tidak akan membenci (makhluk) yang lain.
Ahimasa Dharma yakni suatu kesadaran dan pola pikir yang tanpa kekerasan, juga sebagai suatu kemampuan untuk menghindarkan diri dari dari berbagai konflik, merupakan aspek yang sangat esensial dalam upaya menciptakan kerukunan hidup umat beragama. Ahimsa Dharma adalah dasar fundamental dalam mengarahkan kehidupan yang penuh kedamaian, karena hanya dengan sikap dan kesadaran ini keadaan dan suasan damai dapat terwujud; dan kerukunan tersebut baru dapat dicapai dalam suasana kedamaian tersebut.
Dalam Yajurveda XXXVI.17 diungkapkan bahwa kedamaian sebagai satu aspek yang membentuk konsep “kerukunan” merupakan unsur esensial dari alam semesta ini. Ungkapan tersebut dapat disimak pada kutipan berikut ini:
“Dyauh śāntir antariksam śāntih,
prthivi śāntir apah śāntir osadhayah śāntih,
vanaspatayah śāntir viśve devah śāntir,
Brahma śāntih sarvam śāntih,
Śāntir eva śāntih sa mā śāntir edhi.”
Terjemahannya:
“Semoga ada kedamaian di langit, di udara yang meliputi bumi (atmosfir) dan di atas bumi, semoga air, tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman menjadi sumber kedamaian untuk semuanya. Semoga semua para Dewa dan Tuhan Yang Mahaesa menganugrahkan kedamaian pada kami. Semoga terdapat kedamaian (ketentraman) di mana-mana. Semoga kedamaian itu datang kepada kami.”
Dalam ungkapan tersebut, dapat dilihat bahwa kedamaian sebagai esensi semesta sejalan dengan pandangan kosmologi Hindu yang menganut azas teori cosmos (keteraturan) atau dharma yang bertentengan dengan teori chaos (kekacauan) yang disebut adharma. Kerukunan tak dapat diciptakan apabila alam semesta ini dalam keadaan disharmoni, misalnya rusaknya hutan akibat perilaku perusahaan yang melakuan penebangan liar jelas mengancam kerukunan masyarakat dan tatanan ekologis dalam arti luas; atau asap dari atau kebakaran hutan jelas tidak membuat kita merasa tentram. Dengan demikian, konsep “kerukunan” umat beragama dalam pandangan Hindu dapat terwujud dalam satu-kesatuan pemahaman equilibrium.
2.3.3 Samadarsitva (Kesetaraan Kemanusiaan)
Samadarsitva sebagai satu aspek dari konsep “keruknan” hidup merupakan spekulasi Hindutva tentang egalitarianisme, yakni pandangan kesetaraan dan kesederajatan tidak saja dalam konteks sesama umat manusia, melainkan yang lebih hakiki adalah antar-sesam makhluk hidup. Samadarsitva sebagai formulasi pemikiran Veda tentang HAM dan pluralisme-multikulturalisme dalam konteks kehidupan semesta yang seluas-luasnya. Samadarsitva tidak sekadar kesadaran “right to culture diversity” terutama dengan kelompok minoritas, tetapi pada pada hakikatnya semua umat manusia dan makhkuk hidup adalah sama di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi karena karma wasana-lah mereka menjadi berbeda-beda dalam wujud fisik, sosial, dan budaya. Rasa persamaan ini akan menjadi pendorong tumbuhnya sikap persahabatan dan persaudaraan semesta secara pluralis-multikultural. Dalam kitab Yajurveda XXXVI.18[27] dikatakan sebagai berikut:
Mitrasya mā caksusā sarvāni bhūtāni samīksantām,
Mitrasyāham caksusā sarvāni bhūtāni samīkse,
Mitrasya caksusā samīksamahe.
Terjemahannya:
“Semoga semua makhluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat, semoga saya memandang semua makhluk sebagai seorang sahabat, semoga kami saling berpandangan penuh persahabatan.”
Selanjutnya dalam kitab Rgveda X.191.3 juga dinyatakan mantra yang selaras dengan kutpan di atas, yaitu sebagai berikut:
“Wahai umat manusia, semoga anda berpikir bersama-sama. Semoga anda berkumpul bersama-sama. Hendaknyalah pikiran-pikiranmu dan gagasan-gagasanmu sama. Aku memberimu pemikiran yang sama dan kemudahan-kemudahan yang sama pula.”[28]
Samadarsitva yang dicetuskan oleh Swami Wiwekananda sebagai suatu spekulasi tentang kesetaraan kemanusian dan makhluk lainnya; atau dengan kata lain, sebagai “persamaan dalam segala-galanya” adalah ungkapan yang dilandari paham advaistik dari filsafat Vedanta.
2.3.4 Sarva Dharma Samabhava
Ungkapan sarva dharma samabhāva secara harfiah diartikan bahwa semua dharma/kebenaran (agama) adalah sama dan saling selaras satu sama lainnya. Secara teologis-filosofis Hindu meskipun mengenal beribu nama dewa, tetapi pada dasarnya mengagungkan Tuhan Yang Maha Tunggal (monoteistis) yang disebut Brahman atau Hyang Widhi (istilah Nusantara). Sesuai dengan dengan pandangan teologi-pluralisme yang dianut, Hindu mengakui adanya kebenaran pada agama-agama. Dalam Rgveda X.129.6 Brahman disebutkan sebagai “Kebenaran Mutlak” (Tat Sat), dan dalam Brahmasutra, Brahman dikatakan: “Tad avyaktam, aha hi” bahwa Tuhan itu tidak terkatakan (abstrak), dan dalam Chandogya Upanisad VI.2.1 dikatakan, bahwa sesungguhnya Brahman/Tuhan itu tunggal tidak ada duanya (Ekam eva Adwityam) dan dari pada-Nya semua makhluk tercipta (tasmad asatah sajjāyata).
Pemahaman konsep teologis dan kesadaran filsafati bahwa Tuhan itu hanya satu merupakan landasan yang sangat penting dalam pendidikan agama pluralis-multikultural. Karena adanya agama dan kepercayaan yang bermacam-macam (sarva dharma) semata-mata sebagai media atau “jalan” yang terkait dengan konteks historis dan sosiologis. Dengan demikian, semua jalan agama dan kepecayaan yang ditempuh oleh umat manusia untuk memahami hakikat Sang Pencipta secara filosofis adalah sama, yakni: penyadaran dan pencerahan mental-spiritual manusia sebagai homo-religious. Dalam Bhagavadgita,[29] IV.11 dan VII.21 dinyatakan sebagai berikut:
“Ye yathā mam prapādyante
tamstathai’va bhājamy aham,
mama vartma’nuvartante
manusyah partha sarvasah.”
“Yo-yo yām-yām tanum bhaktah
śraddhayarcitum icchati,
tasyā-tasyā calam sraddham
tam eva vidadhāmy aham.”
Terjemahannya:
“Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Partha.’
“Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtera.”
Jadi religiusitas merupakan inti terdalam dari kesadaran keagamaan/ kepercayaan tertentu yang dianut secara formal. Dengan kesadaran filosofis sarva dharma samabhava ini, setiap orang terpelajar yang mengaku beragama tentu sekaligus juga memiliki pemahaman multi-religius dan sikap menghargai agama dan kepercayaan yang lain, sehingga eksklusivitas agama dapat direduksi. Pemahaman ini sekaligus menegasikan berbagai dorongan konflik-konflik ideologis (agama, ras, dan etnik) yang mungkin muncul akibat gesekan perbedaan pandangan antara kepercayaan yang satu dengan yang lainnya, baik secara internal maupun eksternal. Jadi pada hakikatnya, konsep “kerukunan” hidup umat beragama (Jagaddhita) dalam perspektif teks-teks Veda, di samping dilandasi oleh aspek-aspek nilai filsafati praktis-duniawi, ternyata juga terkait dengan landasan teologis-religius. Sebab Hindu atau Veda secara kosmologis memandang bahwa “kerukunan” hidup duniawi tidak terpisahkan dengan pencapaian “kerukunan” hidup abadi di pangkuan Brahman selaku Sang Pencipta; Brahman Atman Aikhyam dapat dicapai baik dalam kehidupan di dunia ini ataupun setelah meninggalkan kehidupan di dunia ini.
3. MEMBUMIKAN WAWASAN MULTIKULTURAL
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HINDU
3.1 Beberapa Pendekatan untuk Membumikan Wawasan Multikultural
dalam Konteks Masyarakat Majemuk di Indonesia
Kondisi umat beragama dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sejak dasa warsa 1990-an rupanya mengalami kemerosotan cukup signifikan; jika meminjam istilah Freud, “wajah religius” yang tampak ke permukaan bersifat “semu”. Karena dalam berbagai peristiwa kerusuhan dan kekerasan di daerah-daerah konflik baik berupa konflik struktural maupun konflik kultural dapat dilihat adanya dorongan fundamentalisme, militanisme etno-religius dari alam bawah sadar kolektif mereka sangat kental, bahkan tindakan sadisme pun tyidak terhindarkan. Dalam kondisi kerukunan yang “sakit” seperti itu, upaya pemulihannya secara analogis mirip dengan studi kesehatan, yang mempunyai pola segitiga: diagnosis-prognosis-terapi (DPT) sebagaimana diterapkan Johan Galtung dalam studi perdamaian.[30] Pola ini mencerminkan kerangka segitiga: data-teori-nilai yang sepadan dengan proses trianguler spiral: emperisisme-kritisisme-konstruktivisme.
Secara awam diagnosis atas gejala patologis yang menghambat tumbuh-berkembangnya kerukunan hidup umat beragama, antara lain dapat berupa: faktor intern (seperti pemahaman teologis, ideologis) dan faktor ekstern (seperti: sosial, kultural, politik-hukum, dan sebagainya) sehingga masih dirasakan kurang kondusif. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi sumber konflik tersebut, maka dapat dilakukan prognosis, prediksi berbasis teori tentang berbagai kemungkinan yang muncul di masa yang akan datang, sehingga upaya social-kultural engineering (dalam arti positif dan proporsional dari pihak pemerintah (top down) relatif diperlukan di samping upaya dari bawah (bottom up). Sebagai contoh, program Tri Kerukunan Umat Beragama dalam sosialisasinya ternyata baru dipermukaan (kurang efektif), karena belum menyentuh kehidupan masyarakat pada lapisan bawah (the grass-roots level). Berdasarkan pengalaman tersebut, dapat diajukan beberapa pendekatan yang bersifat konsepsional untuk memahami dan membumikan wawasan multikultural di kalangan umat beragama yang dikenal dalam pemikiran Hindutva, antara lain: (a) teologis (teologi pluralisme dan philosophia parennis), (b) kultural, (c) sosial-politik, (d) pendidikan pluralis-multikultural dan dialog lintas agama dan budaya (cross cultural and religion).
3.1.1 Pendekatan Teologis
Pandangan teologis yang melandasi Hinduisme (sebagaimana representasi yang tampak) adalah teologi pluralisme, yang sering juga disebut “pluralistis-monistis” karena segala bentuk presentasi dan representasi (Saguna Brahman) sesungguhnya mengacu pada Sat Transendetal yang Tunggal (Nirguna Brahman), sehingga Hindu (agama Veda) pada hakikatnya adalah monoteistis. Betitik tolak dari pandangan teologi pluralis ini, Hindu secara prinsipal mengacu pada “kebenaran” Veda sebagai pedoman pola pikir, sikap dan perlikau “wajib” bagi penganutnya, akan tetapi juga memberikan toleransi yang sangat besar dalam mengakui bahwa “kebenaran” juga ada pada agama-agama lain. Berbagai refleksi “kebenaran” yang dicerap pada tataran duniawi menjadi bersifat relatif, termasuk “kebenaran” agama dan “Kebenaran Absolut = Nirguna Brahman” adalah abadi adanya, yang disebut Sanatana Dharma. Dengan demikian, penyadaran manusia Hindu tentang Dharma sebagaimana disebut dalam Veda: “Dharma Raksati Raksitah” (Kebenaran Abadi akan menjaga dan melindungi yang meyakininya) dan rumusan “Brhman Atman Aikhyam” (bahwa ‘Atman adalah manunggal dengan Brahman’) menjadi dasar (epitemologis) konsep kerukunan hidup beragama.
Kerukunan hidup di dunia ini pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kerukunan dan keterntraman “alam kedewaan”; dan tingkat kualitas dharma lah yang menentukan manusia Hindu mendapat “salvation” (di dunia dan di akhirat). Dalam kitab Atharvaveda[31] III.8.5 dan III.30.4 dinyatakan sebagai berikut:
“Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat salah menuju jalan yang benar.”
Wahai umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugerahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu.”
Dengan pendekatan “penyadaran teologis” yang pluralis-monistis ini, pandangan Hindutva tidak mengklaim kebenaran Veda sebagai kebenaran tunggal, juga tidak memaksakannya kepada paham agama dan kepercayaan yang lain. “Penyadaran Teologis” untuk melihat secara jernih “kebenaran” religius yang diyakini merupakan langkah fundamental dalam upaya menanamkan “kesadaran” pluralis-multikultural dalam hidup umat beragama di Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk; tanpa “penyadaran” ini besar kemungkinan bahwa toleransi-religius umat beragama hanya di permukaan belaka.
3.1.2 Pendekatan Kultural: Tri Hita Karana
Pola pengkondisian (conditioning) “kesadaran multikultural” dalam umat beragama dengan model pendekatan kultural—sebagai suatu contoh—dapat disimak secara emperis dari pengalaman masyarakat Hindu-Bali. Pola tersebut dapat dilihat pada konsepsi Tri Hita Karana yang melandasi penataan geo-kultural masyarakat adat Bali secara keseluruhan. Dalam konsepsi Tri Hita Karana tersebut dapat kita simak hubungan dialektis, dialogis, serta dinamis antara Tuhan (Parhyangan), manusia (Pawongan), dan alam lingkungan (Palemahan). Kerukunan dalam konsepsi ini terjalin dengan antara manusia-Tuhan, manusia-manusia (horizontal), dan manusia-alam lingkungan/alam bawah, sehingga secara multikulturalis manusia Hindu-Bali terbentuk dalam suatu equlibrium sesuai dengan pandangan ‘humanisme-religius’.
Konsepsi pengkondisian kesadaran multikulturalis dalam konsepsi ini merupakan penjabaran dari ungkapan yang terdapat dalam kitab Atharvaveda[32] XIV.1.1, yaikni:
“Satyena-uttabhitā bhūmih,
sūryena-uttabhitā dyauh.
Rtena-ādityās tisthanti,
Divi somo adhi śritah.”
Terjemahannya:
“Kebenaran menyangga bumi, matahari menyangga langit. Hukum alam menyangga matahari. Tuhan Yang Maha Kuasa meresapi seluruh lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfir).”
Melalui tatanan ini, tiap orang yang berada di dalam atau di luar terikat dalam satu kesatuan kosmologis untuk bertanggung jawab memelihara dan menjaga tetap ajeg-nya keharmonisan dan kerukunan; dan kerukunan menjadi suatu sebuah sistem ekologis-religius. Pada tataran ini kegiatan seperti Dialog Lintas Agama-Budaya atau Kemah Budaya hingga ke lapisan masyarakat bawah penting diselenggarakan, sehingga terjadi saling pemahaman tentang unsur-unsur budaya dan keagamaan secara universal.
3.1.3 Pendekatan Sosial-Politik
Apabila liberalisme memang dapat dilihat sebagai suatu perluasan dari prinsip toleransi agama, penting untuk mengakui bahwa toleransi kergamaan di Barat telah mengambil bentuk yang sangat khusus, yakni: pemikiran kebebasan beragama individu (yang kini menjadi hak dasar individu untuk beribadah, menyebarkan agama, pindah agama, termasuk menolak agama). Jadi dilihat dari perkembangan sosial-politik dalam arti luas, maka pemulihan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia pun tidak terpisahkan dari dinamika sosial tersebut. Sistem sosial di masa lalu dapat diacu, misalnya, dalam ‘sistem millet’ dari kerajaan Ottoman (Turki), umat Islam, Kristen, dan Yahudi diakuai sebagai satuan yang memerintah diri sendiri (millet).
Pola yang juga mirip dengan sistem millet ini adalah sistem sosial yang dianut Majapahit dalam menjaga kerukunan hidup umat beragama dan etnis pada masa itu. Kerajaan vasal mengatur diri sendiri, juga komunitas Islam di pesisir. Dalam kitab Veda pola pemulihan kerukunan hidup umat beragama dengan pendekatan sosial-politik (politik perdamaian) dapat disamakan dengan konsepsi Lokasamgraham (persaudaraan semesta), yang memandang dunia ini sebagai sebuah “rumah tangga” dan segenap makhluk merupakan “anggota keluarga” (cikitsur lokasamgraham). Melalui konsepsi “rumah tangga semesta” kerukunan dan kedamaian tercipta sebagai satu keseluruhan; dan di dalamnya social-kultural engineering berlangsung secara natural. Pola pendekatan ini masih dapat kita simak dalam tatanan sistem sosial-religius Hindu-Bali yang disebut desa pakraman atau desa pakěrtan. Dalam setiap satu kesatuan desa pakraman, secara teritorial membangun suatu tatanan sosial yang berfungsi untuk menciptakan kerukunan hidup umatnya, baik lahir maupun batin. Konsepsi desa pakraman ini juga diadopsi dalam tatasan sosial komunitas-komunitas Islam di Bali, seperti desa Pagayaman, Singaraja. Sistem organisasi sosial yang secara konsepsional dilandasi oleh “ideologi multikulturalistis” tersebut mampu memelihara bentuk sinkretisme Hindu-Islam sebagai suatu sistem nilai keagamaan, kedamaian, dan kerukunan hidup umat beragama di desa pakraman di Desa Pagayaman, Buleleng ini.
3.1.4 Pendekatan Pendidikan Pluralis-Multikultural
Sistem pendidikan multikultural pertama kali muncul dalam tahun-tahun 1970-an di Inggris dan Australia. Kemudian menjalar juga ke Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di Eropa.[33] Dalam sistem pendidikan itu kurikulum sekolah memberi tempat bagi pelajaran mengenai berbagai sistem budaya dari kelompok ras yang ada di negara tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan monokultural yang pernah dikembangkan oleh pemerintah Belanda di zaman kolonial (mulai tahun 1817), di mana sekolah-sekolah dan kurikulumnya disesuaikan dengan lingkungan budaya masing-masing. Sejak pendudukan militer Jepang, sistem pendidikan monokltural mulai dihapus dan mengarah ke sistem pendidikan multikultural. Menurut pandangan Sleeter dan Grant,[34] dalam sistem pendidikan multikultural pada dasarnya dikenal 5 tipologi, yaitu:
(1) Mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya lain (culture difference), terutama pada siswa dalam transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam mainstream yang ada.
(2) Hubungan antar-manusia (human relations) merupakan program untuk membantu siswa dari kelompok-kelompok tertentu sehingga dia dapat mengikuti bersama-sama dengan siswa yang lain dalam kehidupan sosial.
(3) Single group studies, yaitu program yang mengajarkan mengenai hal-hal yang memajukan pluralisme tetapi tidak menekankan kepada adanya perbedaan srtatifikasi sosial yang ada di dalam masyarakat.
(4) Pendidikan multikultural merupakan program reformasi pendidikan di sekolah-sekolah dengan menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang menekankan pada adanya perbedaan siswa dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme kebudayaan dan equlitas (kesederajatan) sosial.
(5) Pendidikan multikultural yang bersifat rekonstruksi sosial, yang merupakan suatu program baru untuk menyatukan perbedaan-perbedaan kultural dan ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada di masyarakat, sehingga program ini disebut sebagai “critical multicultural education”.
Terkait dengan kelima tipologi tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa pendidikan pluralis-multikultural adalah proses penyadaran yang berwawasan pluralisme (secara agama) dan sekaligus berwawasan multikulturalisme (secara budaya). Jadi pendidikan pluralis-multikultural haruslah dilihat sebagai bagian dari usaha komprehensif dalam menghindari, mencegaj, dan menanggulangi konflik-konflik bernuansa etnis dan agama di masa mendatang.
Dalam kaitannya dengan pendidikan agama, wawasan pendidikan pluralis-multikultural merupakan bekal penting agar kalangan terpelajar dan masyarakat luas menghargai perbedaan, menghormati secara tulus, komunikatif, terbuka, dan tidak saling curiga, di samping untuk meningkatkan iman dan taqwa.[35] Mengingat pendidikan agama merupakan salah satu pilar penyangga kerukunan umat beragama, dan kerukunan umat beragama pada dasarnya adalah pilar kerukunan hidup berbangsa-bernegara, maka pendidikan agama pluralis-multikultural tidak saja menjadi fondasi integritas nasional yang kokoh, tetapi juga menjadi fondasi pengayoman keberagaman-keberagmaan yang sejati.
Titik berat pertama pendidikan agama pluralis-multikultural terletap pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eksklusifisme kelompok agama tertentu atau budaya yang sempit. Di samping itu, pendidikan agama pluralis-multikultural juga menekankan pada pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif untuk mengatasi masalah-masalah bersama, seperti: kejahatan, kemiskinan, dan keterbelakangan; dengan kata lain untuk mewujudkan kemaslahatan bersama atau di dalam Veda disebut Jagadhita dan Lokasmgraham, bahwa kesejahteraan sosial dan kebahagiaan hidup duniawi serta ketertraman dan kedamaian semesta di mana dunia merupakan “rumah” kita bersama, vivre ensemble.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa sasaran akhir pendidikan agama pluralis-multikultural adalah untuk menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk bersikap kritis terhadap kediktatoran penguasa, seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, dan diskriminasi. Dengan demikian, paradigma “baru” pendidikan agama pluralis-multikutural merupakan “investasi” yang sangat penting bagi perjuangan cita-cita humanisme-religius atau humanisasi pendidikan agama—yang selama ini cenderung dogmatik, doktrinal, formalistik, eksklusif—dalam upaya menuju masyarakat Indonesia plularistis-multikultural.
Sistem pendidikan agama pluralis-multikultural dalam masyarakat Hindu secara konsepsional menjadi bagian yang integral dari pemikiran teologisnya. Brahman/Tuhan Yang Maha Esa selaku sang pencipta pada dasarnya meresap-mengejawantah dalam segala ciptaan-Nya di alam semesta ini; dengan kata lain bahwa segala bentuk kehidupan makhluk hidup dan segala representasi yang ada di jagat raya ini merupakan refleksi keesaan dan keagungan Tuhan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk tertinggi yang memiliki manu (akal-pikiran) memiliki peranan sangat sentral dan penting dalam menata kehidupan di dunia ini, baik dengan bersandarkan kepada Hukum Abadi (Rtam dan Dharma) maupun hulum rasional. Meskipun manusia memainkan peranan sentral (antroposentrisme), tetapi seorang manusia Hindu tidak dapat berbuat secara sewenang-wenang, sehingga disebut dengan antroposentrisme humanis-religius. Ungkapan tentang keseimbangan mental manusia sebagai landasan sikap pluralis-multikulural dapat disimak dalam kutipan Bhagavadgita [36] VI.9 sebagai berikut:
“Suhrin-mitrary-udāsīna madhyastha dvesya badhusu,
sādhusw api ca pāpesu sama-budhir wiśisyate”
Terjemahannya:
“Ia yang berpikiran seimbang di antara kawan, rekan dan musuh, antara mereka yang netral dan menengah, di antara yang dibenci dan kerabat, di anatara para orang suci dan para pendosa, adalah (orang) utama.”
Melalui dunia pendidikan pluralis-multikultural ini internalisasi dan enkulturasi konsep-konsep kerukunan hidup umat beragama dapat ditanamkan secara mendasar. Dalam Rgveda X.191.2 dan X.191.4 dinyatakan sebagai berikut:
“Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu.”
“Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan.”
Berdasarkan kutipan teks-teks suci Veda tersebut dapat dipahami bahwa dalam konsepsi pendidikan-multikultural Hindu, seseorang tidak dibenarkan mengembangkan sikap “animocity” (rasa tidak senang) antar kelompok, terlebih antar umat beragama. Pada dasarnya Hindutva senantiasa mengedepankan upaya pencapaian kebahagiaan untuk segenap makhluk Tuhan, seperti juga terlihat dalam mantra Tri Sandhya: “Sarva prani hitahkarah” (semoga semua makhluk senantiasa sejahtera).
Lembaga pendidikan dengan paradigma pluralis-multikultural sangat memungkinkan sebagai media inkulturasi dan enkulturasi nilai-nilai kerukunan dan kedamaian yang bersifat universal. Melalui sistem pendidikan pluralis-multikultural juga dapat dikembangkan berbagai bentuk dialog keagamaan, baik dalam bentuk Dharma-tula, Dharma-wacana, Dharma-gita, Dharma-santi, atau pun Dharma-yatra, sebagai media untuk menjalin saling pengertian (mutual understanding) yang bersifat lintas agama dan budaya (cross cultural and religion).
3.1.5 Pendekatan Kreatif: Sastra-Multikultural
Upaya untuk memahami (verstehen) dan membumikan (internalisation) konsep-konsep, pemikiran dan wawasan multikultural, baik secara internal (inculturation) maupun eksternal (enkulturation)—dalam pandangan Hindutva—dapat ditempuh dengan pendekatan proses kreatif (tulis-menulis), yakni penciptaan karya-karya Sastra-Multikulturalis. Keberhasilan karya-karya Sastra-Multikulturalis sebagai media internalisasi konsepsi multikulturalisme dengan jelas dapat disimak dalam khazanah susastra Veda (Vedic literture), seperti dalam kitab Ramayana dan Mahabharata. Kedua karya sastra Veda tersebut relatif sarat muatan tentang ide/gagasan, konsep dan wawasan multikultural yang hingga kini masih tetap “mengakar” dan “membumi” baik di India maupun di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan kreatif karya-karya sastra-multikultural perlu terus didorong dan dikondisikan dalam berbagai kesempatan, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
4. KESIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan terhadap masalah pokok di atas, akhirnya sebagai hasil interpretasi dan analisis pada bagian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Ungkapan konsep-konsep “multikultural” yang terkandung dalam kitab-kitab Veda dapat diajukan sebagai salah satu aspek sistem nilai religius-kultural yang secara kritis-obyektif dapat diacu guna mengkonstruksi suatu pemahaman yang bersifat konsepsional dalam upaya mewujudkan “kesadaran pluralis-multikultural” dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Pola pikir, kesadaran, dan sikap “pluralis-multikultural” tersebut merupakan dasar demi terciptanya kerukunan dan perdamaian umat beragama.
2. Ungkapan konsep-konsep multikultural tersebut pada dasarnya merupakan sumbangan nilai-nilai yang sangat penting terkait dengan program pemerintah di bidang ini, teristimewa program Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama, baik mencakup: (1) kerukunan intern masing-masing umat beragama, (2) kerukunan ekstern antar umat beragama yang berbeda-beda, dan (3) kerukunan dan keharmonisan hubungan antara umat beragama dengan pemerintah, sebagai satu kesatuan hidup sosial berbangsa dan bernegara.
3. Bentuk ungkapan konsepsi multikultural yang terkandung dalam kitab Veda pada dasarnya dilandasi suatu ‘paradigma’ teologis yang disebut Atma-Darsanah dan Sarwatra Sama-Darsanah. Pemahaman atas ‘paradigma’ tersebut dapat dirumuskan dalam beberapa aspek makna konsep, yaitu:
(a) Tat Tvam Asi (toleransi religius),
(b) Ahimsa Dharma (tanpa kekerasan),
(c) Samadarsitva (kesetaraan kemanusiaan), dan
(d) Sarva Dharma Samabhava (teologi pluralisme dan keharmonisan).
Keempat komponen makna konsep tersebut pada hakikatnya merupakan satu-kesatuan teologis-filosofis dalam usaha mewujudkan Jagaddhita (kebahagiaan duniawi) dan Moksa (kebahagian abadi).
4. Setelah memperhatikan ciri dan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk yang relatif rawan dengan berbagai konflik etno-religius, maka secara konsepsional perlu diupayakan pendekatan dalam penerapan konsep-konsep dan wawasan multikultural yang terkandung dalam Veda di atas. Beberapa pendekatan yang mungkin diupayakan, antara lain: (a) pendekatan teologis (teologi pluralis), (b) pendekatan kultural, (c) pendekatan sosial-politik, dan (d) pendekatan pendidikan pluralis-multikultural dan dialog lintas agama-budaya (cross cultural dan religion).
5. Pemahaman dan pembumian (internalisasi) baik secara internal (inculturation) maupun eksternal (enculturation) konsep-konsep dan wawasan pluralis-multikultural tersebut dalam konteks kemajemukan masyarakat Indonesia dapat ditempuh dengan program/sistem pendidikan pluralis-multikultural. Konsep-konsep, nilai-nilai dan pemikiran tersebut dapat dimasukkan sebagai muatan kurikuler, baik dalam jalur pendidikan keagamaan maupun pendidikan umum. Program pendidikan merupakan salah satu ruang yang sangat penting sebagai media inkulturasi dan enkulturasi konsep-konsep dimaksud secara mendasar. Melalui paradigma pendidikan pluralis-multikultural ini secara gradual sikap “animocity” antar etnis ataupun antar umat beragama memungkinkan diminimalisir sehingga berbagai bentuk konflik etno-religius dapat dihindarkan.
6. Upaya untuk memahami (verstehen) dan membumikan (internalisation) konsep-konsep, pemikiran dan wawasan multikultural, baik secara internal (inculturation) maupun eksternal (enkulturation)—dalam pandangan Hindutva—dapat ditempuh dengan pendekatan proses kreatif (tulis-menulis), yakni penciptaan karya-karya Sastra-Multikulturalis. Keberhasilan karya-karya Sastra-Multikulturalis sebagai media internalisasi konsepsi multikulturalisme dengan jelas dapat disimak dalam khazanah susastra Veda (Vedic literture), seperti dalam kitab Ramayana dan Mahabharata. Kedua karya sastra Veda tersebut relatif sarat muatan tentang ide/gagasan, konsep dan wawasan multikultural yang hingga kini masih tetap “mengakar” dan “membumi” baik di India maupun di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan kreatif karya-karya sastra-multikultural perlu terus didorong dan dikondisikan dalam berbagai kesempatan, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwimarta, Sri Sukesi, 1993, Unsur-Unsur Ajaran dalam Kakawin Parthayajna. Disertasi Doktor pada Program Pasca Sarjana, FSUI, Depok.
Ali, Muhamad, 2003, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas.
Budiman, Manneke, 2003, “Jatidiri Budaya dalam Masyarakat Multikultural.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tanggal 18—20 Desember.
Clifton, James A., 1968, Introduction to Cultural Anthropology. Boston: Hougton Mifflin Com.
Galtung, Johan, 2003, Studi Perdaamaian. Surabaya: Pustaka Eureka.
Irsan, Koesparmono, 2003, “Meredam Konflik dan Menjalin Islah di berbagai Daerah: Usaha Rekonsiliasi dan Penanggulangan Konflik serta Peran Perempuan di Dalamnya”. Dalam Jurnal Harmoni, Jakarta: Depag RI.
Johnson, David W. dan Roger T. Johnson, 2002, Multicultural Education and Human Relations Valuing Diversity. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon.
Koentjaraningrat, 1983, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
---------------------, 1985, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kymlicka, Will, 2002, Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES
Leirissa, R.Z., 2003, “Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Sejarah.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tanggal 18—20 Desember.
Lubis, Akhyar Yusuf, 2004, Filsafat Ilmu dan Metodelogi Posmodernis. Bogor: Akademia.
Mantra, Ida Bagus, 1993, Tata Susila Hindu Dharma. Jakarta: Hanuman Sakti.
Maswinara, I Wayan, 1997, Bhagawadgita. Surabaya: Paramita
Nasikun, 1984, Sistem Sosial Indonesia. Yogyakarta: UGM.
Pudja, D., 1984, Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta: Departemen Agama RI.
Soekanto, Soerdjono, 1985, Kamus Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soemardjan, Selo, dkk., 1974, Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fak. Ekonomi.
Stiehm, Judith, 1997, “Diversity’s Diversity”, dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism a Critical Reader. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.
Suparlan, Parsudi, 2003, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tanggal 18—20 Desember.
Suprayogo, Imam, dan Tobroni, 2001, Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tilaar, H.A.R., 2003, “Pendidikan dalam Multikulturalisme.” Makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, diselenggarakan Dep. Kebudyaan dan Pariwisata, Bogor, tagl. 18—20 Desember.
Titib, I Made, 1996, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Todorov, Tzvetan, 1968, Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
Wahjono, Parwatri, 1993, Hakikat dan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok Bagi Masyarakat Pendukungnya. Disertasi, FSUI, Depok.
Zoest, Art van, 1980, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.
Zoetmulder, P.J., 1995, Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[1] Lihat dalam Parsudi Suparlan, “Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 1.
[2] Manneke Budiman, “Jatidiri Budaya dalam Masyarakat Multikultual”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 2.
[3] Parsudi Suparlan, op.cit., hlm. 4.
[4] David W. Johnson dan Roger T. Johnson, Multicultural Education and Human Relations Valuing Diversity, 2002, hlm. 3.
[5] Ibid., hlm. 4.
[6] Menurut Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam hal mana masing-masing sub sistem terkait ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial (lihat Nasikun, 1984: 36).
[7] G. Pudja, Bhagavadgita, 1984, hlm. 156—157. Selengkapnya dapat disimak teks dan terjemahan Bhagavadgita, VI. Sloka 29—32.
[8] Koesparmono Irsan, 2003, “Meredam Konflik dan Menjalin Islah di berbagai Daerah: Usaha Rekonsiliasi dan Penanggulangan Konflik serta Peran Perempuan di Dalamnya”, dalam Jurnal Harmoni.
[9] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, 1984, hlm. 36.
[10] Kajian ini pada dasarnya merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study), yang lebih banyak didasarkan pada kajian isi teks. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini lebih terfokus pada rumusan tujuan butir (a), namun demikian tujuan pada butir (b) dan (c) tetap diusahakan berdasarkan bahan yang relatif terbatas. Kajian ini sesungguhnya merupakan bagian dari kerja penelitian yang sedang penulis tentang “Persepsi dan Pola Kehidupan Pluralis-Multikultural dalam Dinamika Sosio-Religius Masyarakat Desa Pagayaman, Buleleng” (Oktober 2005).
[11] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 1985, hlm. 5.
[12] Lihat dalam James A. Clifton, Introduction to Cultural Anthropology, 1968, hlm. 35.
[13] Lihat Parwatri Wahjono, 1993, “Hakikat dan Fungsi Permainan Ritual Magis Nini Thowok Bagi Masyarakat Pendukungnya,” Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana, FSUI, Depok.
[14] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 144.
[15] Ibid., hlm. 145.
[16] Ibid., hlm. 149
[17] Judith Stiehm, “Diversity’s Diversity”, dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism a Critical Reader, 1997, hlm. 140—156.
[18] Will Kymlicka, Kewarganegaraan Multikultural, 2002, hlm. 34.
[19] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 1983, hlm. 267.
[20] Lihat Zoest, Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, 1980, hlm. 5
[21] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, 2004, hlm. 103.
[22] Lihat Poespoprodjo dalam Adiwimarta, Unsur-Unsur Ajaran dalam Kakawin Parthayajna, 1993, hlm. 14.
[23] Lihat Susabda dalam Akhyar Yusuf Lubis, op. cit., hlm. 105.
[24] Akhyar Yusuf Lubis, op. cit., 2004, hlm. 104.
[25] Lihat Tzvetan Todorov, Tata Sastra, 1985, hlm. 12.
[26] G. Pudja, Bhagavadgita (Pancama Veda), 1984, hlm. 156—157.
[27] I Made Titib, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, 19961, hlm. 381.
[28] Ibid., hlm. 349.
[29] G. Pudja, op.cit., 1984, hlm. 103—104 dan 181.
[30] Johan Galtung, Studi Perdamaian, 2003, hlm.55.
[31] I Made Titib, op. cit., hlm. 374.
[32] I Made Titib, op. cit. hlm. 309.
[33] R.Z. Leirissa, “Pendidikan Multikultural dalam Perspektif Sejarah”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 4.
[34]Lihat H.A.R.Tilaar, “Pendidikan dalam Multikulturalisme”, makalah dalam Seminar Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Budaya, 2003, hlm. 16.
[35] Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, 2003, hlm. 102.
[36] G. Pudja, op. cit., hlm. 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar